Keberadaan bangunan yang sudah berumur tua seringkali tidak diindahkan oleh sebagian besar orang Indonesia. Mereka bahkan menilai ruko lebih baik dibandingkan gedung tua jadi harus dirobohkan.
Djuhara menuturkan, selama ini, arsitek seringkali berkorban lebih dulu. Ketika klien atau pemilik modal ingin membangun gedung, maka ia akan memanggil arsitek.
Arsitek menjadi korban saat pemilik modal menginginkan gedungnya menguntungkan tetapi juga harus bagus. Padahal, lanjut Djuhara, penilaian bagus sangat relatif.
Pada akhirnya, bangunan dinilai bagus jika menghasilkan keuntungan ekonomi meskipun harus mengorbankan gedung tua. Indonesia memiliki banyak sekali masalah-masalah tersebut di kota.
Pemilik modal inginnya gedung yang indah dan menguntungkan sekaligus. Untuk itu, butuh orang-orang terbuka dan cerdas sehingga tidak merobohkan bangunan begitu saja tanpa melihat sejarahnya.
“Tapi untuk quick win, perlu ada sekian banyak contoh (bangunan) yang harus dibuktikan dan dipublikasikan. Usaha ini tidak melulu pasti gagal,” jelas Djuhara.
Ia menambahkan, arsitek memang menjadi bagian penting tapi bukan satu-satunya penentu perubahan. Dengan demikian, Djuhara merasa bertanggungjawab untuk mengajak lebih banyak lagi pihak-pihak yang memiliki pandangan positif.
Lebih jauh lagi, ia juga berharap banyak orang-orang yang memiliki semangat dan antusias tinggi untuk mengajukan ide-ide revitalisasi bangunan tua.