Yulia Hesti Nurnaningsih: Orang di Balik Bangkitnya Dunia Perfilman Semarang

Usia perempuan ini terbilang muda, 22 tahun, tapi ia mampu menghidupkan kembali dunia perfilman dan komunitas-komunitas film di kota tempatnya tinggal, Semarang. Perkenalkan, nama perempuan cantik kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini ialah Yulia Hesti Nurnaningsih, pendiri komunitas film ‘Ruang Film Semarang’.

Komunitas ini ia dirikan saat duduk di bangku kelas dua SMA, karena kecintaannya terhadap film dan niatnya ingin menghidupkan kembali perfilman dan perkumpulan-perkumpulan film di Semarang yang sempat mati suri. Pendirian komunitas ini diakui kala itu juga terinspirasi dari sebuah forum pertemuan komunitas film se-Indonesia yang berlangsung di Semarang.

“Karena kegiatan itu, aku yang sama sekali nggak punya basic film dan nggak pernah terpikirkan terjun ke dunia film akhirnya jadi dapat ilmu baru dan belajar banyak soal film. Mulai dari seluk beluk pembuatan hingga proses pemutarannya. Pada akhirnya aku jadi kepengin mendirikan komunitas film di Semarang,” tukasnya.

Gemar Nonton Film karena Sang Kakek

Jika ditarik mundur ke belakang, masa kecil Hesti –begitu biasa ia dipanggil- memang dihabiskan dengan menonton film bersama sang kakek yang gemar menonton film di televisi. Dari situlah, ia mengaku mulai tertarik dan jatuh cinta dengan film. Bahkan, hari-hari dan kegiatan belajarnya juga diselingi dengan kegiatan menonton film.

“Dulu zaman SD, aku sering nemenin kakek sampai larut malam, nonton film laga yang diputar di TV. Saking sukanya nonton film, saat belajar pun aku lakukan sambil nonton film supaya terjaga konsentrasinya,” jujurnya seraya tertawa.

Kecintaannya akan dunia film makin menjadi memasuki bangku SMP. Kala itu menemukan sebuah kompetisi film dokumenter atau yang dikenal dengan “Eagle Documentary” yang dihelat oleh salah satu stasiun TV swasta. Namun sayang, keinginannya untuk ikut serta harus kandas, karena saat itu ia belum cukup umur.

Tapi rupanya keberuntungan berpihak padanya, tak lama kemudian kompetisi film bergengsi itu dibuka untuk peserta usia sekolah. Tanpa ragu, ia pun langsung mendaftar dan bahkan lolos hingga ke babak 5 besar kompetisi. Dan ia mengaku, banyak sekali ilmu tentang film yang didapatkan dan hatinya kian mantap untuk sepenuhnya terjun ke dunia film.

Gara-gara Film, Nyaris dikeluarkan dari Sekolah

Selama membangun Ruang Film Semarang, tak terhitung berapa banyak waktu dan tenaga Hesti yang terkuras. Hal ini bukan tanpa alasan, pasalnya komunitas ini didirikan saat ia masih duduk di bangku SMA di tengah padatnya jadwal belajar. Bahkan ia katakan, sekolahnya juga sangat kaku, kegiatan di luar sekolah pun tak mendapat dukungan, sehingga sulit bagi para siswa untuk menyalurkan bakat dan minatnya.

Lewat pembicaraan di telepon sore itu, perempuan yang kental dengan logat jawa ini, mengatakan ia bahkan hampir dikeluarkan dari sekolah karena sering absen. “Saya bahkan sempat diasingkan oleh pihak sekolah karena sering izin saat mengikuti berbagai seminar atau workshop perfilman di luar kota,” ujarnya sambal menghela nafas panjang.

Tantangan lainnya datang dari pendanaan saat komunitasnya ingin membuat workshop pertama. Ia dan kedua temannya harus bergerilya menjual ratusan stiker khas Semarang di keramaian. Meski hasil penjualan stiker itu pun tak seberapa, namun usahanya bersama kedua temannya ini berbuah manis. Workshop itu berhasil digelar di tengah-tengah kesederhanaan. Tapi hebatnya, workshop sederhana minim dana ini mampu mencetak beberapa peserta yang andal dalam membuat karya film.

Hesti mengungkapkan, “Kepuasan tersendiri saat mengetahui bahwa ilmu dari workshop ini berguna bagi pesertanya. Bahkan ada seorang bapak yang ikut workshop ini, sekarang sudah bisa memproduksi karya film yang ditampilkan di sebuah channel tingkat asia.”

Usaha menaklukkan tantangan yang dihadapinya selama ini pada akhirnya berbuah manis. Tanpa bermaksud sombong Hesti berujar, “Bisa dikatakann berkat kehadiran Ruang Film Semarang, perfilman Semarang kembali hidup. Komunitas ini telah menginspirasi banyak perkumpulan film lainnya di Semarang untuk hidup kembali melakukan pemutaran film berkala di beberapa titik kota.”

Melalui Ruang Film Semarang, jaringan ke sesama pembuat dan pecinta film di seluruh Indonesia pun kian luas.

“Bahkan sekarang, kalau ada event perfilman di Semarang, pasti panitianya akan menghubungi aku untuk mengajak Ruang Film Semarang berpartisipasi,” ujar perempuan yang sedang menempuh pendidikan film di Yogyakarta ini.

Ketika ditanya soal dukungan keluarga, ia mengatakan bahwa orang tuanya tak pernah mengekangnya untuk melakukan hal yang ia cintai di dunia perfilman. Bahkan meski tinggal terpisah, ia selalu dapat dukungan dari kedua orang tuanya.

“Orang tuaku membebaskan, mereka mendukung apa yang kulakukan asal siap dengan segala risikonya. Meski harus menunda kuliah hingga beberapa waktu, mereka juga nggak masalah, asal tak menyelewengkan kepercayaan mereka terkait tanggung jawabku atas pendidikan,” jelasnya.

Bicara Soal Masa Depan Ruang Film Semarang

Pertanyaan terakhir ini punya jawaban yang agak sendu, terucap dari bibirnya bahwa ia masih ragu apakah di masa datang akan terus melanjutkan komunitasnya atau tidak. Mengapa demikian? Alasannya tak lain karena terbatasnya  SDM dan kesibukan kuliah filmnya di Yogyakarta.

“Masih sulit untuk mencari orang-orang yang punya dedikasi penuh untuk mengelola komunitas ini, karena kebanyakan dari anggota kami pun punya kesibukan masing-masing,” katanya galau.

Namun di akhir percakapan ia kembali berbesar hati sambal berujar, “Bila komunitas ini pada akhirnya harus vakum, setidaknya kami telah menorehkan sejarah dalam dunia perfilman Semarang. Ruang Film Semarang memang belum lama berdiri, tapi dampak kehadirannya cukup besar, yaitu jadi pemicu bangkitnya dunia perfilman kota lunpia. Hal itu yang melegakan hati saya sebagai pendirinya.”

2 Comments

  1. Rahmanboy says:

    Keren Profilnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *