SUBANDI BONMAT: MEMOTIVASI PENYANDANG DIFABEL UNTUK BANGKIT DARI KETERPURUKAN

Meski RUU disabilitas sudah disahkan, perjuangan kaum difabel untuk mendapatkan kesetaraan hak nampaknya belum berakhir. Perjalanan masih sangat panjang, pasalnya kesetaraan itu masih sulit terwujud seutuhnya. Sebut saja dalam hal mobilitas sehari-hari, akses, hingga hak mendapatkan pekerjaan.

Salah satu pejuang yang hingga kini gigih memperjuangkan dan menyuarakan hak serta mengajak para kaum difabel lainnya untuk bangkit adalah Subandi Bonmat, pendiri Yayasan Difabel Mandiri Indonesia. Melalui yayasan ini, ia ingin merangkul para kaum difabel di seluruh Indonesia agar punya motivasi hidup, terus berkarya, mandiri, dan hidup sejahtera. Melalui yayasan ini pula, Subandi –begitu ia biasa dipanggil- ingin menyuarakan hak-hak kaum difabel kepada pemerintah dan juga menghilangkan stigma negatif tentang kaum difabel.

Kegiatan yang diberikan yayasan ini antara lain kelas komputer dan teknologi sebagai program pelatihan dan pendidikan. YDMI juga menyalurkan bantuan alat bantu interaksi seperti kursi roda dan kruk. Demi memberi motivasi kepada para penyandang difabel, YDMI rutin adakan home visit, seminar, dan workshop.

Ia pun menambahkan, “Kami juga berikan informasi mengenai lowongan pekerjaan untuk para difabel agar diperlakukan adil sehingga tak kesulitan lagi untuk mendapat pekerjaan.”

Yayasan yang semula berbentuk komunitas ini resmi didirikan pada 2011. Meski mulanya hanya berupa grup di sebuah media sosial, lama-kelamaan grup ini semakin berwarna dan ternyata juga mampu “menghidupkan” banyak orang, terutama para penyandang difabel. Pasalnya dalam grup ini, Subandi tak hanya menyuarakan hak-hak kaum difabel, tetapi juga banyak berbagi kalimat motivasi, pelatihan, dan info-info penting lainnya yang dinilai bermanfaat.

“Saya ingin merangkul penyandang difabel, tentunya dimulai dari hal-hal yang mampu dilakukan, salah satunya dukungan motivasi lewat media sosial. Tujuannya sederhana, supaya mereka tidak hanya pasrah dengan keadaan dan jangan sampai menjadi individu yang tertinggal,” ungkapnya.

Musibah Menimpa Subandi

Lalu, apa yang sebenarnya memicu Subandi membentuk grup tersebut? Jika ditarik ke belakang, Subandi memang punya pengalaman pahit yang menjadikannya seorang difabel. Saat duduk di bangku sekolah menengah atas, musibah besar menimpanya. Kaki kanannya mesti diamputasi dokter karena membusuk akibat kecelakaan motor. Kesulitannya tak hanya sampai di situ, setelah amputasi dan menggunakan kaki palsu, ia pun kemudian kesulitan mendapat pekerjaan dan sering didiskriminasi dalam keseharian.

“Saat itu saya cukup lama terpuruk dan tak dapat menerima keadaan, tapi lama kelamaan saya sadar dan bangkit. Kondisi saya masih jauh lebih beruntung dari difabel lainnya, pasalnya saya masih bisa beraktivitas dan mandiri. Semangat inilah yang selalu ingin saya bagikan ke teman-teman senasib. Oh ya, saya juga bangkit dari keterpurukan berkat keluarga yang tak pernah lelah memberi dukungan,” tukasnya seraya mengingat-ingat.

Ya, itulah yang ingin ia disampaikan melalui kegiatan-kegiatan yang dihelat Yayasan Difabel Mandiri Indonesia, yaitu soal dukungan keluarga. Ini menjadi pesan sekaligus catatan bagi para keluarga yang punya anggota keluarga penyandang disabilitas.

Sulitnya Mengubah Pola Pikir

Membentuk sebuah yayasan yang merangkul kaum difabel diakui pria asli Tangerang  ini bukan pekerjaan yang mudah, terutama dalam soal mengubah pola pikir. Hal ini ia katakan setelah mengunjungi beberapa daerah di Indonesia. Subandi menilai, masih banyak teman-teman kaum difabel yang pikirannya masih terkekang oleh keterbatasan tubuhnya, banyak difabel yang pasrah dengan keadaan dan cenderung menutup diri. Bahkan dikatakan Subandi, ada pula yang dianggap jadi beban keluarga.

“Dalam sebuah kunjungan ke luar kota, saya menemukan ada keluarga dengan anak difabel yang ayah dan ibunya guru, tapi anaknnya dibiarkan tak sekolah. Ketika saya tanya alasannya, keduanya mengaku malu dengan keadaan anaknya. Padahal sang anak sangat ingin bersekolah. Kenyataan seperti itu miris sekali, kan?” cerita Subandi.

Bukannya mundur, dihadapkan dengan tantangan seperti itu  pria yang kini jadi pranata komputer di Yayasan Waskita justru kian termotivasi. Bahkan Subandi juga ikut terlibat dalam hal advokasi hingga menghubungkan teman-teman difabel dengan pemerintah setempat.

Usaha tak pernah mengkhianati hasil, lagi-lagi ungkapan ini terbukti benar. Sebuah kesempatan emas menghampirinya, salah satunya untuk mengikuti pelatihan di luar negeri soal manajemen kepemimpinan. Tak hanya itu, melalui pengamatannya, kini para penyandang difabel yang dibimbingnya pun mulai terlihat bangkit dari keterpurukan.

Pria dua anak ini berharap, bersama YDMI ia dapat terus berbagi dan menjangkau daerah-daerah pedalaman Indonesia untuk berbagi inspirasi dan menyebarkan kabar baik. Ia juga berharap gerakan YDMI bisa memicu pemerintah untuk sadar dan bergerak menjangkau kaum difabel dan pada akhirnya hak-hak kaum difabel bisa terpenuhi dan hidup sejahtera.

“Ya, jujur saja hingga kini saya masih belum lihat pemerintah turun tangan. Malah yang lebih peduli itu pihak asing, salah satunya Kedubes Australia yang membantu program pendidikan dan pelatihan para difabel Indonesia,” tutupnya.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *