Lentera Sintas Indonesia: Pelecehan Seksual Verbal Dianggap Lumrah di Indonesia

Sebuah survei yang dilakukan oleh kelompok dukungan bagi penyintas atau korban kekerasan seksual, Lentera Sintas Indonesia, bekerja sama dengan wadah petisi daring Change.org dan media perempuan, menunjukkan bahwa pelecehan seksual secara verbal menjadi jenis kekerasan seksual paling umum terjadi.

Survei yang berlangsung sepanjang Juni tersebut berhasil menjaring 25.213 responden baik dari kota maupun kabupaten guna melihat kesadaran dan pengalaman publik tentang kekerasan seksual. Ternyata, sebanyak 58 persen pernah mengalami pelecehan dalam bentuk verbal.

Sebanyak 25 persen lainnya pernah mengalami pelecehan secara fisik seperti sentuhan, pijatan, remasan, pelukan, ciuman, dan lainnya. Dan 21 persen responden pernah dipaksa melihat, menonton konten porno, alat kelamin seseorang atau aktvitas seksual. Selain itu, enam persen mengalami pemerkosaan.

“Survei ini berawal dari antusiasme publik pada petisi kasus YY, yang mendapatkan tanda tangan sebanyak 35 ribu hanya dalam waktu 24 jam, dan dalam petisi tersebut kami meminta untuk pembahasan UU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Wulan Danoekoesoemo, Direktur Eksekutif Lentera Sintas Indonesia, saat ditemui CNNIndonesia.com, Kamis (21/7).

Wulan menyebut, survei kolaborasi itu adalah tindak lanjut dari petisi. “Tingginya antusiasme publik membuat kami berasumsi bahwa terjadi lebih banyak lagi kasus serupa di lapangan,” lanjutnya.

YY merupakan siswa SMP 14 tahun yang tewas setelah diperkosa oleh 14 pemuda. Kasus tersebut menjadi perhatian publik dan membuat Indonesia dianggap gawat darurat kekerasan seksual. Namun, faktanya, kasus YY bukanlah yang pertama dan satu-satunya.

Dalam petisi tersebut, Lentera Sintas Indonesia mencatat laporan Komnas Perempuan bahwa setiap harinya, ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, dua dari tiga perempuan jadi korban kekerasan seksual.

Ternyata survei yang dilakukan secara anonimus daring oleh lembaga tersebut menyibak hal lainnya. Dari 12.812 perempuan yang disurvei, 46,7 persen pernah mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 28,6 persen dari 12.382 responden laki-laki juga mengalami kekerasan seksual. Di samping itu, 83 persen dari 12 responden transgender menjadi korban kekerasan seksual.

Lentera Sintas Indonesia mendefinisikan kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan mencakup kekerasan secara verbal, fisik, pemaksaan melihat konten porno, intimidasi atau ancaman melakukan aktivitas seksual, serta pemerkosaan.

Berdasarkan hasil survei, pelecehan verbal dilakukan 70 persen oleh pelaku tak dikenal. Pelaku pelecehan seksual secara fisik dilakukan 57 persen oleh orang dekat. Dan sebanyak 69 persen pelaku kasus pemerkosaan ternyata adalah orang yang dikenal dekat.

Fakta survei juga menunjukkan bahwa 41 persen responden mengenal korban kekerasan seksual dan 84 persen responden perempuan ternyata pernah mengalami kekerasan seksual secara verbal.

Yang tak kalah mengejutkan, sebanyak 66 persen korban pemerkosaan ternyata mengalaminya ketika mereka berada di bawah 18 tahun. Artinya, dua dari tiga korban pemerkosaan mengalami kejadian traumatis itu saat masih di bawah umur.

Namun, banyaknya kasus kekerasan seksual ternyata tak sanggup menggerakkan mulut publik untuk bersuara. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 72 persen korban pemerkosaan tak menceritakan pengalamannya dan hanya enam persen dari total responden korban perkosaan yang melanjutkan dengan melapor.

Kalaupun melapor, ternyata hanya satu persen yang tuntas diselesaikan kasusnya oleh pihak berwajib. Sisanya, mengalami penghentian kasus, pelaku bebas, atau berakhir ‘damai’ dalam berbagai bentuk.

Dianggap Lumrah

Senada dengan Wulan, Kepala Subkomisi Bidang Partisipasi Publik Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan bahwa adanya kasus YY memang meningkatkan kesadaran adanya bentuk kekerasan seksual di tengah publik, namun belum sampai taraf pemahaman.

“Masyarakat masih baru sampai taraf mengenal kekerasan seksual di lapisan luarnya saja, masih permukaan. Namun kalau ditanya tentang dampak, penyebab, bentuk, masyarakat masih belum dapat mengenal itu,” katanya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com dalam kesempatan yang sama.

Maria mencontohkan tindakan siul dari seseorang tak dikenal kepada wanita yang lewat di muka publik. Baik secara sudut pandang wanita maupun hukum di beberapa negara, tindakan tersebut tergolong pelecehan seksual. Namun di Indonesia, hal tersebut seperti ‘lumrah’.

“Ini seperti membenarkan kebiasaan dan tidak ada yang bilang tindakan pelecehan itu salah. Seperti para perempuan dididik bahwa disiul itu adalah wajar karena mereka perempuan,” katanya.

Namun era demokrasi dan kebebasan berpendapat mendorong publik untuk lebih terbuka dan tak diam ketika terjadi tindakan kekerasan seksual. Meski masih jauh dari kata ‘berani’, setidaknya dengan mulai mengenal maka publik dan terutama korban kekerasan dapat membawa kasus ini guna meraih keadilan bagi hak asasi masing-masing.

Mariana menilai bahwa adalah tugas negara menjamin setiap penduduknya mendapatkan jaminan keamanan sampai taraf yang masih dianggap tabu seperti konteks seksual. Tentu kesadaran menjaga ini juga tertuju para penegak hukum yang masih loyo dalam penegakan kasus kekerasan seksual hingga baru sanggup menyelesaikan sebesar satu persen, berdasarkan data survei.

Sumber: CNN

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *