Caecillia Dian Tedjapawitra: Berjuang Akrabkan Isu Kesehatan Jiwa ke Tengah Masyarakat Indonesia

Suara riang terdengar di ujung telepon sore itu. Pemilik suara itu adalah Caecillia Dian Tedjapawitra atau yang akrab dipanggil Dee. Ia adalah inisiator gerakan edukasi dan sosialisasi kesehatan jiwa bernama ‘Get Happy’. Gerakan ini ia dirikan saat menempuh pendidikan S2 di Universitas Indonesia, bersama seorang sahabat yang kini jadi suaminya.

Adalah Andre Adianto, sang sahabat yang setia menemani Dee melewati masa-masa kelam ketika menderita depresi berat pada 2013. Dengan Andre, Dee mengaku, tak sungkan mencurahkan sejuta tanya dan kegelisahan mengenai masalah kejiwaan, terutama pandangan miring yang kerap dilontarkan masyarakat.

“Banyak dari masyarakat yang kurang informasi soal isu ini dan mereka sudah terlanjur menarik diri saat mendengar istilah “gangguan jiwa. Melalui diskusi panjang, akhirnya Andre mencetuskan ide untuk memberi edukasi dan menyebarkan pemahaman soal isu kesehatan jiwa kepada masyarkat luas,” tukasnya sambil mengingat-ingat.

Sejak itu, Dee dan Andre memutuskan untuk memulai langkah pertama dengan membentuk situs berisi informasi mengenai penyakit kejiwaan yang diberi nama gethappy.org. Tak disangka, di sana banyak masyarakat yang mulai terbuka menceritakan kisah mereka terkait isu kesehatan jiwa. Dari situlah Get Happy mulai melancarkan beragam kegiatan off air yang turut mengajak kenalan-kenalan Dee yang kebanyakan berprofesi sebagai psikolog untuk memberikan edukasi dan sosialisasi lewat seminar dan talkshow.

Tak ada isu kesehatan jiwa yang spesifik digodok oleh Get Happy. “Meski masalah dan jenis-jenis gangguan itu sangat beragam, Get Happy hanya fokus memberikan pemahaman general atau lebih umum kepada masyarakat awam supaya nggak terus-menerus jadi isu yang menakutkan lagi. Intinya kami untuk mengajak orang lain untuk hidup lebih bahagia,” ungkapnya lugas.

Perjalanan Hidup Penuh Warna

Pendirian Get Happy sebenarnya sangat personal buatnya. Jika menilik perjalanan hidupnya, Dee memang lahir dari keluarga dengan isu kesehatan mental. Ia adalah anak tunggal dari seorang ayah yang jadi korban kekerasan di keluarganya. Masa kecil Dee kerap diwarnai pengalaman-pengalaman buruk yang tak mudah untuk dilupakan hingga kini. Contohnya, ketika TK dirinya sudah mengalami mild depression karena ditinggal sang bunda pergi bekerja ke luar kota. Bahkan sepulangnya dari luar kota sang ibu harus cuti untuk merawat Dee.

Tak berhenti sampai di situ, ketika duduk di bangku SMA ia merasa dunia runtuh ketika tahu sang ibu mengidap kanker ovarium dan kemudian meninggalkannya pada 2010 silam, tepat dua hari sebelum hari ulang tahunnya yang ke-23 tahun. Dan ketika ia mulai bangkit dari duka berkat kepergian sang bunda, musibah menerjangnya kembali. Kali ini lebih dahsyat, sampai membuat Dee depresi berat pada 2013. Usaha yang ia bangun dari warisan sang bunda mengalami kebangkrutan.

Sambil menghela nafas panjang ia berkisah, “Saat itu saking depresinyan aku nggak produktif dan nggak bisa melakukan apa-apa. Dunia rasanya kelam banget dan aku sering mencurahkan perasaan ke medsos dan mendapat respon yang beragam. Ada yang negatif, namun ada juga yang positif seperti Andre salah satunya.”

Untungnya, Dee tak ingin berlama-lama terpuruk. Ia mulai bangkit dan mencari tahu kondisi kejiwaannya serta penyebabnya. Ia mulai keluar dan melalukan kegiatan-kegiatan penyembuhan seperti self healing dan meditasi hingga terapi dengan pendekatan holistik. Sekaligus juga sering berkonsultasi dengan teman-teman psikolognya hingga dapat mengubah kebiasaan hidupnya ke arah yang lebih baik.

 “Jembatan” Penyembuh Jiwa

Bagi perempuan yang kini jadi konsultan komunikasi di perusahaan yang dibangun bersama sang suami, ‘mengasuh’ Get Happy merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia dan suami yang memang peduli dengan isu kesehatan jiwa ini mengaku senang dapat berbuat sesuatu untuk membantu orang lain dan tak pernah merasa terbebani.

“Semua katanya mengalir begitu saja dan tak ada target yang kami kejar. Masalah SDM juga tak pernah kami pusingkan, pasalnya sistem yang diterapkan dalam kepengurusan Get Happy ini sifatnya kerelawanan/volunteerism. Siapa yang mau bantu, siapa yang peduli dengan isu ini, ayo kita berjuang bersama di Get Happy!” katanya lugas.

Get Happy juga diakui Dee menjadi jembatan baginya untuk menjemput kesembuhan. Ya, perempuan yang sekarang sedang hamil tujuh bulan ini baru saja didiagnosa memiliki borderline personality dissorder.

“Saat memberi edukasi kepada orang lain, aku merasa jadi semakin paham dengan masalah kesehatan jiwa. Aku jadi merasa lega dan jiwaku kian sehat dengan bertemu dan bertukar cerita dengan banyak orang. Bisa dibilang, ada efek terapeutik yang kurasakan dari kegiatan Get Happy,” ujar perempuan kelahiran 1987 ini.

Ia berharap, Get Happy bisa terus ada, meluas, dan aktif berkegiatan menyebarkan pemahaman soal isu kesehatan jiwa kepada masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, Dee dan sang suami sangat terbuka bila ada orang yang ingin membentuk dan membesarkan Get Happy di daerah lain.

“Get Happy ini bukan hanya milikku dan suami, melainkan milik masyarakat bersama,” tutupnya.

Dokumentasi: Caecilia Dian Tedjapawitra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *