Amelia Virginia Pertiwi dan Mirsabayu: Pelajaran Hidup Bersyukur dari Anak-anak Prasejahtera

“Dari anak-anak saya banyak belajar banyak soal kehidupan. Cerita-cerita mereka menyadarkan saya untuk bersyukur dan nggak mengeluh soal masalah yang saya hadapi,” ujarnya lewat telepon siang itu.

Pemilik suara itu adalah Amelia Virgiani Pertiwi atau yang biasa dipanggil Amel. Perempuan kelahiran tahun 1991 ini adalah salah satu aktivis komunitas The Umbrella Wisdom, sebuah komunitas yang fokus memberikan pendidikan formal dan informal (bahasa, karakter, dan kesenian) pada anak-anak prasejahtera yang tinggal dekat rel kereta di Kampung Dao, Jakarta Utara.

Sesuai dengan namanya kata Amel, yakni Umbrella yang artinya payung. Benda ini memiliki fungsi melindungi, sesuai dengan fungsi dari komunitas yang jadi rumah keduanya ini, yaitu, melindungi anak-anak prasejahtera pinggir rel dari kontaminasi atau pengaruh pergaulan negatif lingkungan kumuh pinggir kota besar melalui pendidikan.

Baca selengkapnya soal The Umbrella Wisdom di https://komunita.id/2016/12/16/the-umbrella-wisdom-peduli-pendidikan-anak-anak-jalanan/

“Waktu aku ke sana pertama kali, sebenarnya anak-anak ini masih polos dan nggak kena kontaminasi sama sekali sama pergaulan. Nah itu dia tugasku dan kawan-kawan, yakni melindungi mereka dengan memberikan kegiatan bermanfaat, yakni belajar dan bermain,” ujar Amel.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Amel adalah seorang relawan pengajar di komunitas ini. Ia aktif mengajar sejak 2012, saat masih jadi mahasiswa akuntansi di STIE Trisakti . Ketika ditanya alasannya bergabung, ia tak memberikan jawaban yang berlebihan. Katanya ia hanya merasa perlu saja membantu orang lain yang membutuhkan, terutama anak-anak kurang beruntung yang membutuhkan pendidikan. Pasalnya ia punya keinginan sederhana, yakni membuat anak-anak ini pintar dan dapat bersaing di dunia luar di masa depan.

“Aku kan dari dulu dapet pendidikan yang layak dan tempat tinggal yang layak dari orang tuaku. Ya masa aku nggak bisa sih berbagi sama anak-anak lain dari sedikit yang bisa aku berikan. Aku hanya ingin mereka jadi pintar dan bisa bersaing dengan dunia,” ujarnya.

Meski kini ia sudah jadi seorang pegawai swasta dan dikejar kesibukan tugas kantornya, Amel mengaku tak pernah merasa terganggu atau kelelahan memberikan tenaganya untuk mengajar anak-anak. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri pergi ke Kampung Dao sepulang kerja. Katanya ia bisa sampai disana pukul 7 atau setengah delapan malam dan mengakhiri kegiatannya pada pukul 10 malam. Sekali lagi ia mengatakan, ia tak lelah sedikit pun, ia justru merasa rasa lelahnya hilang setelah melihat tawa dan semangat anak-anak ketika belajar bersamanya.

Hal yang dikisahkan Amel, nyatanya juga diamini oleh Mirsabayu, seorang koordinator relawan dari komunitas yang sama. Kata Bayu ia juga mendapat pelajaran berharga dari anak-anak, yakni soal ketegaran. Padahal kata Bayu, anak-anak ini sejak kecil sudah hidup serba kekurangan, tapi mereka bisa melaluinya dan bahkan masih sukacita dalam menjalani hidup.

Berbeda dengan Amel, Bayu baru 3 tahun bergabung dengan The Umbrella Wisdom. Awalnya ia diajak teman saat baru menyelesaikan kuliah Teknik Komputernya di Universitas Telkom, tapi lama-kelamaan ia mulai menikmatinya dan aktif hingga kini. Ia juga sebenarnya suka dengan kegiatan sosial. Ia punya pengalaman mengajar di daerah pedalaman lewat kegiatan sosial di kampusnya. Dalam kegiatan itu ia mengajari anak-anak menggunakan teknologi komputer.

Tukasnya diiringi senyum, “Aku suka ngajar dan berbagi ilmu yang ku punya kepada orang lain. Gimana ya, rasanya senang aja bantu orang lain.”

WhatsApp Image 2017-02-06 at 14.03.11

Mirsabayu, Koordinator Relawan The Umbrella Wisdom saat beraktivitas bersama anak-anak binaannya di Kampung Dao, Jakarta Utara (Dok. Mirsabayu)

Akan tetapi dibalik kegiatan yang sangat senang mereka jalani itu, keduanya tak menampik kalau ada tantangan yang hingga kini sulit mereka taklukan, yakni soal mengubah pola pikir orang tua dan anak-anak prasejahtera soal pendidikan. Kata Amel dan Bayu, masyarakat prasejahtera di Kampung Dao, Jakarta Utara ini masih belum menyadari betapa pentingnya pendidikan.

Contohnya saja, mereka masih sering menemukan anak-anak yang lebih suka turun ke jalan dan bekerja, ketimbang belajar atau pergi ke sekolah. Bahkan masyarakat punya pemikiran kalau pergi ke sekolah itu hanya membuang waktu dan uang. Amel juga menambahkan, katanya anak-anak disana lebih senang bekerja mendorong lori di rel, pasalnya kegiatan ini cukup menghasilkan uang.

Bayu menimpali, “Dari puluhan anak yang kita sudah bina, hanya 1 atau 2 orang saja yang berhasil dibujuk untuk tidak ke jalanan lagi. Kami bahkan sudah berbincang dengan orang tua mereka untuk tak menyuruh anak turun ke jalan. Akan tetapi mau gimana lagi, himpitan ekonomi yang yang jadi alasannya.”

Tak hanya berdialog dengan para orang tua, Amel dan Bayu melalui The Umbrella Wisdom juga rajin mencarikan anak-anak ini beasiswa hingga sekolah menengah atas agar tak ke jalanan. Namun lagi-lagi, kebanyakan anak-anak lebih suka mendapatkan uang lewat pekerjaan di jalanan.

Akan tetapi Bayu optimis upayanya akan berbuah manis dikemudian hari. Amel juga demikian. Mereka terus semangat memberikan pendidikan dan berharap supaya anak-anak ini makin pintar dan makin mengerti akan pentingnya pendidikan untuk diri mereka.

 

Dokumentasi: Amelia Virginia Pertiwi dan Mirsabayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *