Bunga Fatia: Ajak Perempuan Indonesia Unjuk Gigi lewat Gambar Grafiti

Perkenalkan, namanya adalah Bunga Fatia. Perempuan manis asli Jakarta ini tak disangka-sangka punya kecintaan mendalam dengan dunia seni yang umumnya dilakoni laki-laki, yakni menggambar grafiti. Kecintaannya ini menuntunnya mendirikan sebuah wadah seniman grafiti khusus perempuan yang diberi nama ‘Ladies On Wall’.

Didirikan pada 2014 lalu, komunitas ini ia ceritakan bermula dari event menggambar bersama sejumlah bomber (sebutan seniman grafiti) perempuan disebuah kawasan di Jakarta. Event itu ia inisiasi bersama seorang beatboxer perempuan bernama Sintya yang ternyata juga punya hobi yang sama dengannya.

“Ini jarang banget nih perempuan yang buat grafiti. Aku pikir, ayo kita kumpulkan lalu bikin event spesial nih. Dan ya, tercetuslah bikin event makan dan gambar grafiti bareng. Acara itu kita kasih nama yang catchy, Ladies on Wall,” tukasnya lewat telepon siang itu disela-sela perjalanan kerjanya ke Bali.

Perempuan yang akrab dipanggil Bunga ini juga menambahkan, selain menuangkan dan melampiaskan kecintaannya terhadap dunia gambar dan grafiti, melalui komunitas atau wadah bomber perempuan pertama di Indonesia ini, ia dan 34 perempuan lain yang tergabung di dalamnya hingga kini ingin menyampaikan pesan kalau perempuan juga punya karya yang juga bisa diperhitungkan, bukan laki-laki saja.

Tak hanya itu, katanya Ia juga ingin menghilangkan stigma negatif yang berkembang di masyarakat soal aktivitas menggambar grafiti yang dinilai sebagai tindakan kriminal dan mengganggu keindahan ruang publik. Stigma itulah yang menyebabkan Bunga beberapa kali berurusan dengan pihak berwajib karena aktivitas berkaryanya.

“Aku pernah berurusan dengan polisi saat menggambar di Serpong, dekat kampus aku. KTP aku ditahan dan gambarku yang sudah jadi harus dihapus. Lalu ada lagi di Jakarta, aku dan teman-temanku dilaporkan orang atas aksi menggambar,” ceritanya seru.

Stigma soal kriminalitas itu ternyata juga makin mendorongnya untuk keluar dari rutinitas kerja. Ya, sebelum jadi full time artist dan mengurus komunitasnya hingga saat ini, sarjana desain dari Universitas Multimedia Ini pernah bekerja menjadi desainer grafis di sebuah hotel. Ketika teman-temannya tahu, mereka kelihatan menyayangkan keputusan Bunga. Bukan hanya menyayangkan, tapi justru meragukan.

“Yakin lo bung? Itu kan nggak ada uangnya. Dan itu memangnya bukan tindakan ilegal ya gambar-gambar kayak gitu,” ujarnya seraya menirukan perkataan temannya.

Akan tetapi ketakutan dan keraguan teman-temannya itu tak terjadi. Berkat upaya keras dan passion Bunga dalam berkarya, ia bisa membuktikan kalau pekerjaan dunia seni tak semuram itu dan Bunga sangat menikmati hari demi harinya berkarya hingga detik ini.

Kertas, Tembok Kamar, hingga Tembok Tetangga

Jika menilik masa lalu, Bunga tidak tercemplung begitu saja ke dunia seni gambar grafiti, katanya dari kecil tangannya memang sudah lincah menggambar. Mulanya ia menggunakan kertas untuk melampiaskan kegemarannya itu, namun semakin lama ia tidak puas karena media yang digunakan terbatas. Akhirnya, setelah ia punya uang jajan dan dapat membeli cat kaleng semprot, ia lampiaskan kegemarannya itu di tembok kamarnya.

“Kamar sudah habis space-nya aku ke kamar mandi. Sudah habis semua sampai bingung di mana lagi, aku akhirnya pindah ke tembok tetangga. Habisnya aku nggak puas,” ujar Bunga sambil tertawa kecil mengingat kejadian itu.

Ketika ditanya soal pendapat orang tuanya melihat aksi sang anak memenuhi rumah dengan gambar-gambarnya, seperti bunga matahari, robot, monster dan lainnya, Bunga mengatakan kalau keduanya tak pernah ambil pusing dan marah. Ya, bagaimana tidak, keduanya toh sama-sama orang seni. Sang ibu, Poppy Wakulu adalah seorang penari. Badannya lentur dan sangat menguasai jenis tarian apapun, mulai dari tradisional hingga moderen. Sang ayah lain lagi, pria bernama Hendra Niswar itu mahir membuat film dan kini menekuni dunia fotografi (fotografer).

Tambah perempuan kelahiran 1990 ini, “Keduanya justru sangat mendukung kegiatanku. Namun ada catatan yang diberikan, seperti keluar malam harus ada yang menemani misalnya. Ya, mereka pokoknya membebaskan aku asal itu positif.”

Jadi Lebih Hidup dan Menjadi “Seseorang”

Terhitung sudah 3 tahun komunitas ini berdiri, perempuan yang  mengatakan kalau perjalanan bersama komunitasnnya ini cukup memberikannya kesempatan untuk mengenal banyak orang dari berbagai daerah atau istilahnya menambah jaringan pertemanan atau networking. Bahkan katanya, ketika menyambangi bomber perempuan yang ia kenal melalui media sosial di kotanya, ia disambut selayaknya teman lama.

Ia juga merasa jadi lebih hidup dan lebih menjadi “seseorang”. Pasalnya berkat kelahiran ‘Ladies on Wall’, Bunga merasa mendapat banyak dukungan untuk terus berkarya dan ia juga mendapat banyak kesempatan untuk memberikan dukungan kepada banyak perempuan untuk berani unjuk gigi dengan karya-karyanya. Karena katanya masih banyak bomber perempuan berbakat yang malu menunjukan karyanya.

Dalam komunitas ini ia juga bersyukur bisa berbagi ilmu kepada banyak orang. Ia katanya kerap kali mendapat permintaan untuk berbagi ilmu menggambar grafiti, entah itu orang per orangan atau pun diundang menjadi pengajar dalam sebuah kelas seni yang berisi banyak orang.

Pengalaman jadi Pelajaran dan Diskriminasi Perempuan

Akan tetapi, Bunga tak menampik kalau perjalanan bersama komunitasnya ini juga diwarnai tantangan. Kata perempuan yang karyanya terinspirasi dari Tutu dan Madc ini, tantangan itu datang dari banyaknya orang yang mengatasnamakan dirinya tergabung dalam ‘Ladies on Wall’ dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, serta banyak melanggar aturan yang tercipta antar sesama bomber laki-laki atau pun perempuan. Aturan itu salah satunya ialah menimpa gambar bomber lain tanpa izin.

Hal timpa-menimpa gambar bomber lainnya ini benar-benar berbekas dalam hidup Bunga. Dulu sekali, sebelum punya komunitas perempuan ini, ia yang merasa “kesepian” dalam dunianya itu mulai bergabung dengan bomber laki-laki mendapat kejadian tidak mengenakan. Karena tak tahu ada aturan soal menimpa gambar, ia mesti berurusan dengan laki-laki sang pemilik gambar yang naik pitam.

“Dia nggak ngomong secara langsung, tetapi lewat media sosial. Aku dikatain banyak hal sama dia termasuk diledek kalau aku perempuan, ‘yah perempuan sih’ dan banyak hal. Tapi syukurlah selesai karena bantuan komunikasi dari pacar aku yang punya hubungan pertemanan dengan bomber itu,” tukasnya.

Cacian itu tentu membuat Bunga sedih dan menangis. Bagaimana tidak kata Bunga, cacian itu lama-kelamaan makin menyerang ke ranah yang lebih pribadi dan berbau diskriminasi terhadap perempuan. Ya anda tidak salah membaca, dalam lingkungan seni sekali pun,  perempuan masih juga mendapat diskriminasi.

Untuk itulah ia sangat menyayangkan kalau ada perempuan yang mengatasnamakan komunitasnya ini berbuat suatu hal yang sangat sensitif dikalangan bomber. Ia tak ingin ada bomber lain yang terpelantuk dan masuk lubang yang sama dengannya. Akan tetapi ia tak mau ambil pusing soal itu, ia malah berniat menyibukan diri bersama teman-teman komunitasnya membuat karya-karya cemerlang dan melemparkan penilaiannya kepada masyarakat.

Ia berharap, kedepannya ‘Ladies on Wall’ bisa mematahkan stigma negatif tentang grafiti dan diskriminasi terhadap perempuan, melalui semangat berkarya dan percaya diri untuk unjuk gigi. Anak pertama dari dua bersaudara ini juga menaruh harap kalau komunitasnya ini bisa semakin mempertemukan banyak bomber perempuan berbakat di banyak daerah di Indonesia dan saling memberikan dukungan untuk berani berkarya.

Dokumentasi: Bunga Fatia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *