Komunitas Nalitari; Ikat Kebersamaan Dalam Tarian

Yoana Kristiawati (24) bersama delapan temannya sejak Desember 2013 membentuk Komunitas Nalitari. Mereka beragam latar belakang, ada guru sekolah luar biasa (SLB), guru tari, dan kalangan di luar dunia tari.

Nali berasal dari bahasa Jawa berarti mengikat. Sedang tari berarti tarian. “Kita ingin mencoba mengikat orang melalui tarian,” kata Yoana. Nalitari berbeda dengan komunitas tari pada umumnya. Karena komunitas ini hendak mengajak semua orang untuk menari bersama-sama.

Selama ini komunitas tari dikhususkan bagi penari profesional. Dan Nalitari berusaha untuk tidak membedakan penari. Para pendiri komunitas awalnya resah dengan hal demikian, karena ada penari luwes atau kurang luwes, penari difabel maupun penari reguler. Komunitas Nalitari berusaha untuk menyatukan semua dalam tari.

“Saya sendiri juga dapat semacam anggapan itu. Narinya kurang luwes, kurang bagus, standar tarianku tuh kayak nggak sesuai. Jadi saya di situ nggak berkembang, karena dipisahkan. Nggak boleh nari inilah, karena kurang luwes, dibatasin karena kurang bagus,” papar Yoana berkisah dengan komunitas lain yang pernah dia ikuti.

Berawal dari itu muncul ide untuk menggabungkan keduanya. Nah di situ dia berpikiran selain reguler dan difabel, tapi juga orang yang dibilang nggak bisa menari jadi bisa ikut menari. “Karena kita narinya bukan artistik tapi intinya gerak bersama. Itu biar bisa membangun relasi dalam tarian,” tambah Yoana.

Yoana Kristiawati, salah satu founder Komunitas Nalitari

Yoana bersama Nalitari kerap melakukan latihan rutin di Mantrigawen Lor tiap hari Jumat pada pekan kedua dan keempat, tepatnya pukul 16.00 hingga 18.00. Tari yang dibawakan Nalitari berupa tarian improvisasi.

“Jadi misalnya ngasih tahu ke anak difabel, kita tidak menyuruh mereka untuk mengikuti gerakan, kita hanya menyetel musik, selebihnya kita membebaskan mereka bergerak dan menari,” jelas Yoana.

Meski membebaskan, Yoana dan rekannya tetap memberi tahu tentang konsep dan pola posisi. “Misalnya konsepnya lingkaran hidup. Kita cuma ngasih tahu, pas bayi gerakannya kecil-kecil. Jadi pas bayi gerakannya kecil-kecil terserah. Mau gerakin jari doang atau tangan itu terserah. Setelah konsep kita juga pola lantai, gerakan pertama kamu di sini sama siapa. Kalau misal ada temen yang nggak nangkep itu, kita nggak maksa. Ya terserah. Gerakannya nggak dusuruh, tapi bisa menular,” terangnya.

Saat ini jumlah anggota komunitas Nalitari sekitar 50 orang yang terdiri atas difabel rungu, daksa, downsyndrom, dan masyarakat umum. Bagi Yoana, Nalitari bukan sekadar komunitas tari melainkan komunitas yang bisa menambah kepercayaan diri dari difabel.

“Banyak diantara mereka di luar tidak dianggap, sedangkan di komunitas merasa dianggap ada. Mereka pun merasa percaya diri dan senang berkarya,” kata Yoana bersyukur. Ia berharap nalitari terus berkembang ke kota-kota lain. Komunitas ini pernah menjalin kerjasama dalam performance bersama organisasi Belanda dan Amerika.

Sumber: BRILIO

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *