Ressa Ria & Khemal Andrias: Ajak Masyarakat Jalan Bersama Lawan Kekerasan Seksual

Satu lagi berita bahagia dari anak muda Indonesia yang meringankan PR pemerintah dalam kasus kekerasan seksual dan pelecehan perempuan di Indonesia, mereka adalah Ressa Ria Lestari dan Khemal Andrias. Kedua inisiator gerakan One Billion Rising di kota Kembang Bandung, Jawa Barat ini mendirikan sebuah komunitas yang jadi wadah pendampingan korban kekerasan seksual yang diberi nama ‘Samahita’.

“dari bahasa Sanskerta, Samahita artinya ‘Tegar’ atau ‘Kuat’. Kebetulan juga ada maknanya di bahasa Batak, artinya itu ‘Bersama kita’. Ya jadi kalau kita gabungkan, komunitas Samahita mau menyampaikan kalau kita bersama-sama pasti kita jadi lebih kuat atau tegar,” ujar perempuan yang akrab dipanggil dengan nama Icha itu.

Ressa Ria Lestari dan Khemal Andrias tak sendiri mendirikan komunitas ini, katanya mereka dibantu kedua temannya yang sama-sama jadi penggerak gerakan One Billion Rising di kota Bandung pada 2013 lalu, yakni Annisa Yovani dan Ilman Nugraha. Keempatnya sama-sama menempuh studi di kota Bandung, Icha, Khemal, dan Ilman dari Universitas Padjajaran, sementara Annnisa dari Universitas Parahyangan.

Keputusan mendirikan komunitas ini diceritakan Icha dan Khemal dipicu oleh banyaknya aduan masyarakat yang masuk saat event One Billion Rising berlangsung. Tim saat itu merasa kewalahan meladeni banyaknya aduan dan harus menyelesaikannya dalam suatu waktu yang terbatas, mengingat event ini hanya terselenggara satu tahun sekali. Dari situlah mereka memutuskan untuk membuat wadah ini di luar event tersebut supaya mereka bisa lebih leluasa membantu lebih banyak korban.  Dan pada 2015, Samahita resmi mereka didirikan.

Bermarkas di kota Bandung, komunitas ini aktif selenggarakan beragam kegiatan yang membantu banyak korban dan penyintas kekerasan seksual, mulai dari ‘Dialog Sore’, sebuah forum diskusi untuk membahas isu kekerasan seksual, gender dan isu lainnya. Ada pula sesi pendampingan bagi para korban dan acara musik ringan yang mereka beri judul ‘Senja Solidaritas’.

Tak ketinggalan juga, Icha menambahkan kalau beberapa kali Samahita juga menggelar workshop pertahanan diri atau self Defence. Kegiatan ini punya tujuan untuk membekali para peserta ilmu dasar pertahanan diri untuk mencegah tindak kekerasan seksual.

Mendirikan Samahita diakui perempuan asli Bandung ini cukup menguras tenaganya. Ya, bagaimana tidak, ia mesti selalu siap menghadapi banyak orang dengan masing-masing ceritanya yang beragam dan menangani banyak kasus dalam keadaan apapun, dalam keadaan tidak mood sekali pun.

Ujar Icha, “Tantangannya itu ketersediaan energy dan mood aku juga. Kan pasti ada masa dimana mood sedang tidak baik. Keduanya berbahaya pasalnya aku harus siap dengarkan cerita dan bantu mereka. Maka itu aku harus cari cara untuk mengeluarkan energi negatif itu dari tubuh aku.”

Akan tetapi kata Icha selalu ada hal yang membuat ia kembali semangat lagi melayani banyak orang, bahkan hal itu terdengar sangat sederhana, yakni dorongan semangat dari teman-temannya dan ucapan terima kasih dari beberapa korban yang ditangani Icha. Ia mengaku kalau hal itu sontak membuat ia sangat bahagia, pasalnya ia merasa dibutuhkan. Bahkan ia menyebutkan kalau itulah nilai paling berharga yang ia dapatkan dari perjalanannya bersama Samahita.

“Tantangan lainnya itu adalah mengatur relawan. Ya karena basisnya sukarela, Samahita nggak bisa menawarkan banyak selain ilmu dan pengalaman dalam isu gender. Dan nggak banyak orang yang bisa menerima itu ternyata. Ya tapi berharap banget sih para relawan bisa sustain,” Tambah Khemal.

Tak hanya itu, Icha dan Khemal menyebutkan ada satu lagi tantangan yang ia hadapi dalam perjalanannya bersama Samahita, hal itu ialah pengaplikasian nilai-nilai yang dipelajari di Samahita ke dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam hal simpel yang butuh proses untuk berhasil melakukannya, seperti menjaga ucapan dan perilaku. Icha dan Khemal katanya kini mulai berhati-hati dan berpikir sebelum berucap. Mereka takut kalau candaan-candaan yang ia lontarkan justru berbau seksis yang malah menyakiti.

Akan tetapi tantangan yang dihadapi keduanya ini tidak sebanding dengan apa yang didapatkan dari pendirian Samahita. Khemal misalnya, dalam percakapan malam di studio Sebangsa itu ia mengaku mendapat banyak sekali pengetahuan dan pelajaran berharga yang membuka matanya.

“Perspektif saya berubah. Saya juga jadi sadar, oh ternyata akar-akar kekearasan tuh yang seperti ini, lho dan itu pernah saya lakukan. Ah dasar perempuan lemah. Saya pernah melontarkan itu dan  sadar sekarang kalau kekerasan itu bermula dari ucapan seksis seperti itu. Tentu saya belajar menerapkannya di keluarga saya dan teman di sekitar,” ujar Khemal diiringi senyum.

Meski baru berjalan selama 2 tahun, Icha dan Khemal berharap kalau komunitas ini bisa terus bertahan dan menyebarkan dampak lebih luas lagi.  Pasalnya, Icha menyayangkan kalau masih banyak masyarakat yang kebingungan mencari tempat atau wadah untuk menceritakan keluh kesah atau pengalamannya menjadi korban kekerasan seksual.

“Dan gerakan perempuan di Indonesia itu banyak namun masih bergerak sendiri sendiri. Saya berharap Samahita bisa berjalan bersama dengan komunitas perempuan lainnya,” tambah Khemal sambil menutup perbincangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *