Komunitas CAP12; Tampilkan Ideologi Dalam Setiap Karya

STREET art masuk ke Indonesia pada era 1990-an. Seni yang menggunakan ruang publik sebagai medianya itu muncul berbarengan dengan masuknya musik hiphop ke Nusantara. Seni jalanan tersebut terus berkembang hingga akhirnya muncul berbagai kelompok yang menggunakannya sebagai alat propaganda.

Street art juga terbukti mampu memikat anak-anak muda Indonesia. Walau lekat dengan aksi vandalisme, karya-karya mereka tidak jarang menjadi warna tersendiri dalam sebuah kota. Menjadi media komunikasi dua arah guna menyampaikan pendapat dari seniman untuk masyarakat yang ’’menikmatinya’’.

Di kota besar seperti Surabaya, komunitas street art tumbuh subur. Mereka saling berebut memamerkan hasil karyanya di tembok-tembok kota. Tidak sedikit pula komunitas yang menyelipkan ideologi dalam setiap karyanya.

Nah, salah satu yang selalu menampilkan ideologi dalam setiap karya street art-nya adalah komunitas CAP12. Komunitas seniman jalanan yang berasal dari pendukung Persebaya itu menarik perhatian masyarakat sejak kali pertama muncul pada 2014.

Lewat karya-karya beraroma dukungan terhadap Green Force, CAP12 punya andil besar turut menyuarakan perlawanan terhadap PSSI ketika Persebaya dipaksa berhenti berkompetisi. Dengan coretan-coretan perlawanan terhadap rezim PSSI yang menindas, komunitas yang digawangi para pemuda berusia rata-rata 20 tahun tersebut berhasil membangun semangat Bonek melalui karya street art.

CAP12 terbentuk dari anak-anak muda yang rindu melihat Persebaya kembali berlaga. Mereka yang biasanya bernyanyi dan berteriak bersama di balik pagar tribun berkumpul untuk saling bertukar kerinduan. Lalu, ide untuk mengungkapkan kerinduan itu tercetus lewat karya. ’’Dari situ ide untuk melakukan movement lewat street art tercetus,’’ ucap Mahardika Nurdian S., salah satu anggota yang ikut membentuk CAP12.

Nah, karya pertama mereka dilakukan di Jalan Ngagel. Karya tersebut cukup fenomenal. Sebab, dari situ nama CAP 12 dikenal luas oleh masyarakat metropolis.

Karya pertama itu berbentuk mural. Sebenarnya, karya tersebut tidak bagus-bagus amat untuk kelas seniman street art di Surabaya. Bentuk tulisan dan gambarnya memang terkesan compang-camping. Seakan digambar asal-asalan.

Namun, mural bertulisan Persebaya Ndang Tangio (Ayo Segera Bangun, Persebaya, Red) itu begitu berkesan. Mural tersebut seakan mewakili ungkapan kerinduan jutaan Bonek di seluruh Indonesia. Menyiratkan harapan untuk bisa kembali melihat Persebaya berlaga.

Warna mural tersebut khas tim Green Force, yakni hijau dan putih. Ada gambar megafon di sebelah kanannya yang merupakan simbol suporter dalam dunia sepak bola. Sebelah kirinya adalah asal mula nama Persebaya sejak 1927 hingga 2014.

Mahardika mengatakan, saat membuat konsep mural itu, komunitas tersebut sebenarnya sulit cari nama. Berbagai pilihan nama sempat terpikir, mulai dari kata berbahasa Indonesia, Inggris, hingga Amerika Latin. Istilah-istilah khas Ultras alias pendukung klub sepak bola garis keras.

Setelah berdebat lama, nama CAP12 muncul. Nama itu merupakan singkatan dari Coretan Arek Persebaya 12. ’’Daripada keminggris, mending Indonesia saja. Tetap sederhana tapi maknanya ada,’’ lanjut pria yang sempat mengenyam pendidikan di UPN tersebut. Angka 12 di belakang CAP merupakan simbol suporter dalam dunia sepak bola sebagai pemain ke-12.

Istilah CAP juga lekat dengan alat yang digunakan untuk membuat mural atau grafiti. Yakni, Pylox. Untuk anak street artist, istilah CAP tentu tidak asing di telinga. ’’Pencetane (ujung yang dipencet) Pylox itu cap,’’ sahut Abryanto Pratama Putra atau biasa dipanggil Abre, anggota lainnya.

Sejak saat itu komunitas tersebut berangsur-angsur menelurkan karya-karyanya di tembok-tembok kota. CAP12 juga membuat poster bertulisan kalimat-kalimat semangat yang ditempelkan di beberapa tembok. ’’Kami berjuang dengan cara kami sendiri, ya lewat street art untuk Persebaya,’’ tegas Abre.

Sampai sekarang, sudah 26 mural dan grafiti yang dibuat CAP12. Karya tersebut tersebar mulai dari Jalan Ngagel, Jalan Keputih, Jalan Ahmad Yani, Jalan Dinoyo, Jalan Kenjeran, sampai beberapa titik sentral di metropolis. Belum lagi karya poster yang jumlahnya sudah tidak terhitung dan tertempel di sudut Kota Surabaya.

Sama dengan street artist lainnya, perjalanan CAP12 hingga bisa ngebom 26 tembok Surabaya tidak gampang. Aksi kucing-kucingan dengan petugas keamanan jadi makanan sehari-hari. Belum lagi penyitaan Pylox saat tertangkap membuat Abre cs kudu putar otak untuk terus menggambar.

’’Kadang separo jalan, ada polisi atau satpol PP. Kami berhenti, diobrak. Baru bisa nerusin satu sampai dua bulan berikutnya, urunan beli Pylox dulu soalnya,’’ jelas Abre, lantas tersenyum.

Sebelum ngebom, sama seperti komunitas street art lainnya, CAP12 selalu membikin konsep. Mereka saling bertukar pikiran. Hasilnya diwujudkan dalam sketsa di kertas. ’’Setelah itu bagi tugas. Ada yang menggambar orangnya, tulisannya, atau ngeblok temboknya dengan cat,’’ tuturnya.

Pria 25 tahun itu mengungkapkan, salah satu kejadian yang paling berkesan saat ngebom adalah ketika akan mengkritik Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang mereka nilai tidak peduli pada nasib Persebaya. Kebetulan CAP12 memilih waktu sebelum event internasional Preparatory Committee (Prepcom) III United Nation (UN) Habitat pada akhir Juli 2016.

Lokasi ngebom adalah jembatan di Gubeng Pojok. Salah satu lokasi yang saat itu memang sudah disterilkan pihak keamanan. CAP12 berpikir bahwa lokasi itu sangat tepat untuk menyuarakan aspirasinya tentang Persebaya kepada tamu-tamu internasional yang datang. ’’Di situ tempat melintas para tamu soalnya,’’ ungkapnya.

Sadar apa yang dilakukan berbahaya, CAP12 memakai seragam lengkap. Berkostum Persebaya, mengenakan penutup kepala, dan tidak lupa memakai sepatu Adidas. Mirip seragam yang dikenakan saat pergi ke stadion untuk menonton Persebaya berlaga. Sebanyak 10 anggota CAP12 mulai ngebom jembatan itu sekitar tengah malam.

Baru setengah perjalanan, terdengar bunyi sirene mobil polisi dan satpol PP. CAP12 langsung dibubarkan. Beberapa anggota kocar-kacir karena saat itu petugas keamanan mengancam menyakiti mereka jika terus melanjutkan mural kritik untuk Risma tersebut.

’’Malam terseram itu,’’ ucap Firman Arista atau biasa dipanggil Pimen, anggota CAP12 yang ikut dalam aksi ngebom jembatan Gubeng Pojok. Pimen ingat betul apa yang dikatakan petugas satpol PP ketika itu. ’’Mereka bilang, tembok ini tidak boleh dicoret-coret, eh besoknya Risma sendiri sama seniman nggambar-nggambar jembatan itu. Peraturan itu cuman untuk Bonek saja ternyata,’’ tutur Pimen, kemudian disambut tawa anggota CAP12 lainnya.

Kini pengalaman demi pengalaman saat ngebom membuat CAP12 tumbuh jadi komunitas yang besar. Anggotanya sudah puluhan meski yang aktif hanya belasan. Paling tidak, komunitas tersebut turut mewadahi anak-anak muda Surabaya yang punya minat dalam seni untuk bisa berkarya. ’’Siapa pun boleh gabung, asalkan satu benang merah. Cinta Persebaya,’’ jelas alumnus jurusan Desain Grafis Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut.

Kini Pimen menerangkan bahwa CAP12 sudah tidak keras lagi dalam menyuarakan perlawanan terhadap PSSI atau pemerintah. Mereka lebih memilih membuat karya-karya yang mengedukasi masyarakat. Misalnya, membuat mural skuad Persebaya pada 2004 yang mengantarkan Persebaya menjadi juara liga saat itu. Mural tersebut tampak di Jalan Dinoyo.

Juga, gambar legenda Persebaya Eri Irianto yang menempel di salah satu tembok di Jalan Ngagel. ’’Kalau kata Capo Ipul (dirigen Bonek Tribun Utara), kita harus mem-Persebaya-kan masyarakat dengan yang kita bisa. Kami bisa mural, grafiti, dan buat poster, ya dari situ edukasi Persebaya-nya,’’ paparnya.

Pimen menegaskan, CAP12 hidup secara swadaya. Tidak ada uluran tangan orang lain di dalamnya, apalagi ormas atau partai politik. ’’Kalau ingin bantu, kasih kami celana saja. Celana saya habis kena cat semua, gak ada yang bisa untuk pergi kondangan lagi,’’ ungkap Pimen.

Abre berharap CAP12 bisa jadi pemersatu berbagai komunitas Bonek yang kerap ngebom di beberapa ruas jalan. Sebab, sudah banyak komunitas Bonek yang sekadar asal-asalan bikin coretan di tembok dan berdampak negatif di mata masyarakat. ’’Mending gambar Persebaya sing gede daripada jeneng komunitasnya yang dibesarkan. Buat apa? Semua Bonek sama, tidak ada beda,’’ tegasnya.

CAP12 jadi salah satu bukti bahwa dukungan dan cinta tidak selalu harus diujarkan secara bersama-sama dan seragam. Lewat media lain yang disuka, komunitas itu membuktikan diri bahwa banyak cara untuk mengungkapkan sebuah cinta.

Sumber: JAWA POS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *