Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas alam, serta olahan ragam kuliner masyarakat yang beragam suku bahasa dan kepercayaan, setidaknya memperkuat posisi tawar Indonesia dalam diplomasi di dunia internasional. Namun sayangnya, kuliner tradisional berfermentasi seperti tempe, tape hingga minuman beralkohol tradisional seperti arak, tuak dan moke justru tak sanggup jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Steven Rorong, salah satu petani dan pengrajin Cap Tikus Minahasa tampak lemas. Ia harus berususan dengan pihak otoritas bandara setempat karena membawa Cap Tikus untuk dipamerkan dalam acara workshop dan pameran produk berfementasi Indonesia yang digelar oleh Komunitas JalanSutra di Locarasa, Jalan Kemang no 88 Jakarta, Sabtu (19/03) dan Minggu (20/03) lalu.
“Saya harus menunjukkan surat jalan dari panitia kepada otoritas bandara agar memberikan ijin membawa Cap Tikus dalam wadah dua botol sisa air dalam kemasan berukuran 1500 mililiter. Kenapa susah sekali membawa minuman tradisional khas Minahasa?, “ katanya.
Steven membandingkan dengan minuman beralkohol buatan negara asing yang begitu mudahnya dibawa orang Indonesia ketika pulang ke dalam negeri melalui bandara di tanah air.
“Minuman beralkohol asal luar negeri yang dibeli di duty free hanya ditenteng masuk bandara tanpa sembunyi-sembunyi. Bahkan ada teman saya yang membeli soju dan bir lokal Korea 10 botol ukuran 1500 mililiter di Korea berhasil lolos dalam pemeriksaan sesampainya di Indonesia. Mengapa dua botol dalam ukuran yang sama harus diperiksa secara detail ?,” katanya.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh Yosep Isali, petani dan pengrajin moke, Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk menghindari pemeriksaan mendetail dari pihak bandara, ia mengemas moke dalam dua botol ukuran 1500 mililiter dan dibungkus pakaian dalam tas pakaian jinjing yang dikunci.
“Mengapa membawa moke harus seperti pengedar narkotika yang sembunyi-sembunyi. Padahal moke sendiri merupakan minuman tradisional adat Flores yang dikonsumsi tetua adat sampai masyarakat secara turun temurun untuk kegiatan adat dan kesehatan,“ katanya.
Sumarlik, petani tuak asal Tuban Jawa Timur, yang juga peserta pameran produk kuliner Fermentasi, punya kisah lain. Ia memilih naik kereta api menuju Jakarta ketimbang pesawat.
“Tuak saya masukkan ke dalam tas. Agar tidak bau saya taburkan bubuk kopi. Jika ditangkap polisi dalam perjalanan saya pasrah saja. Toh saya tidak membawa bahan peledak dan berbahaya yang bisa membunuh orang. Tuak ini minuman turun temurun dari Tuban, “ katanya.
Selain memamerkan kuliner tradisional seperti tempe, tape Uli Cisalak, Ciu Cikakak Banyumas, Arak Bali, Moke Flores dan berbagai minuman beralkohol tradisional asal berbagai daerah di Indonesia, dalam acara workshop dan pameran produk berfementasi Indonesia yang digelar oleh Komunitas JalanSutra di Locarasa, Jalan Kemang no 88 Jakarta, Sabtu (19/03) dan Minggu (20/03) kemarin, juga dihadiri oleh Harry Nazarudin (Harnaz) – Kimiasutra dan penulis buku ‘Kimia Kuliner’; Yohan Handoyo – penulis buku ‘Rahasia Wine’, Dr. Irvan Kartawiria – Kimiasutra dan dekan Food Technology dari Swiss German University, Raymond M Menot – Antropologi Universitas Indonesia.
Harnaz mengatakan acara itu diadakan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana cara mempopulerkan kuliner Indonesia di luar negeri. Di tengah semangat kuliner sebagai ekonomi kreatif, beberapa cara sudah dirintis oleh pemerintah, misalnya penetapan ikon kuliner Nusantara dan ikut serta dalam pameran dunia. Tetapi, ada satu sisi kurang mendapatkan perhatian.
“Jika Korea punya kimchi dan soju, dan Perancis punya wine, bagaimana dengan Indonesia ? wine, kimchi dan keju blue cheese merupakan produk fermentasi sama halnya dengan tempe, tape, arak, moke dan Cap Tikus, “ katanya.
Harnaz mengatakan tempe misalnya, makanan khas Indonesia yang dikenal sejak zaman pemerintahan Sultan Agung, sang penguasa Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan munculnya kata tempe pada Serat Centini, ternyata menarik perhatian Belanda menguasai Indonesia.
“Dalam catatannya, dalam buku History of Tempeh, William Shurtleff dan Akiko Aoyagi mengungkap bahwa saat penjajahan Belanda, banyak peneliti dari Belanda datang ke Indonesia untuk meneliti tentang tempe dan kemudian membangun pabrik tempe di Eropa dengan nama tempeh (mereka menambahkan ‘h’ agar tetap terbaca tempe), “ katanya.
Pabrik tempe pun, kata Harnaz juga dibangun hingga negara Jerman. Sedangkan negara lain seperti Jepang dan China memproduksi tempe dengan inkubator khusus. Sedangkan di Indonesia, tempe bisa dibuat secara alami.
“Saat ini jika China dan Jepang sering diasumsikan sebagai negara asal tempe, karena di dua negara itulah tradisi pengolahan kedelai sangat kental, seperti tahu, miso, dan kecap. Padahal tempe sudah dikenal sejak abad 16 di Pulau Jawa, “ katanya.
Harnaz mengatakan jika dunia mengakui tempe sebagai produk makanan fermentasi yang banyak digemari, nasibnya berbeda dengan produsen tempe di dalam negeri yang banyak yang sudah gulung tikar.
Salah satu pengrajin Tape Uli Cisalak, Erik mengatakan “Semoga Pemerintah bisa memperhatikan produk kuliner lokal supaya bisa bersaing dengan produk impor.
“Untuk menyelamatkan aneka produk berfermentasi mulai dari makanan hingga minuman yang mengandung alkohol dibutuhkan regulasi yang mendukung usaha rakyat serta serangkaian pembinaan dan pelatihan kepada petani untuk membuat produk yang bisa dijual di pasar global, seperti bantuan pengemasan dan sertifikasi geografis”.
Narasi dan foto diambil dari laman Facebook milik Forum MBB.