Beberapa muda-mudi dari Komunitas Dinding tampak sangat bersemangat memberikan pengajaran kepada anak-anak. Mereka bukan guru. Tempat itu bukan pula sekolah. Hanya sebuah lantai luas yang berukuran 30×30 meter. Lebih tepatnya, tempat menjemur cabai. Bila berkunjung ke tempat itu, tak ada gambaran sama sekali bila di situ dilakukan aktivitas belajar-mengajar.
Tempatnya ramai, layaknya pasar yang berada di lantai dasar. Tapi, sejak beberapa tahun terakhir, lantai tiga di sebuah bangunan di Pasar Jengki (Pasar Bersehati) itu menjadi tempat belajar-mengajar. Komunitas Dinding lah yang menginisiasi kegiatan belajar-mengajar di situ.
Relawan yang mayoritasnya adalah mahasiswa ini mengajarkan menulis, membaca, dan berhitung. Koordinator Komunitas Dinding Jonathan Wokas SKed (21) yang ditemui di sela-sela mengajar mengatakan, kegiatan sukarela ini dilakukan setiap weekend. Meski namanya Komunitas Dinding, namun saat kegiatan belajar, anak-anak hanya duduk beralaskan terpal biru. Tak ada dinding yang membatasi ruangan untuk belajar. Jadilah, satu bidang terpal sama dengan satu kelas.
Di samping ‘kelas-kelas’ itu, terlihat beberapa pedagang yang sedang menjemur rica. Bau rica menyengat, namun kegiatan belajar tetap dilakukan. Bukan hanya itu yang jadi rintangan ketika mengajar. Lantai tiga bangunan tempat belajar belum memiliki sekat atau dinding sama sekali. Memang terbuka. Angin dan hujan ‘bebas’ masuk di tempat itu. Akibatnya bila hujan, kegiatan belajar dengan terpaksa tidak dilakukan. “Total anak yang belajar di sini ada 100 – 150, dibimbing sekitar 30 relawan,” ujar Jona, sapaan akrab lelaki muda itu. “Kasihan anak-anak kalau hujan mereka basah,’’ tambah pria bertubuh tegap berkacamata minus itu.
Fasilitas mengajar yang sangat terbatas tak melunturkan semangat anggota komunitas ini.
“Kami tidak dibayar. Hanya sukarela dan kami memang terpanggil karena bagi kami love to love mengasihi sesama kita itu penting apalagi kita adalah para generasi yang akan memimpin di masa depan. Saya juga berharap pemerintah kota bisa sepaham agar nantinya pendidikan harus menjadi prioritas utama sebagai anak didik,” sambung Orlando Roring, mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulagi Manado.
“Sedangkan, separuhnya masih sekolah di SD Negeri terdekat atau SMP. Kami memilih tempat ini karena yang paling representatif, ya di sini,” tambah Gina Irene Isak, mahasiswa Unsrat yang sedang ada di situ.
Mereka mengaku, kendala yang dihadapi bukan hanya fasilitas tapi juga legalitas. Bagaimanapun, anak-anak di situ harus menikmati pendidikan formal selanjutnya.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Nasional Manado (Diknas). Secara faktual, kami menjalankan kegiatan belajar mengajar, tapi anak-anak belum bisa diikutkan dalam ujian kesetaraan atau Paket A dan B,” ujar Melda Melatunan, anggota komunitas. Soal ini, mereka tetap mencari solusi agar anak-anak itu menikmati fasilitas dan kesempatan bersekolah.
Nyatanya, mereka tak hanya melayani pengajaran membaca, menulis, dan berhitung. Tak segan dan enggan menggendong atau membujuk anak-anak yang menangis akibat terjatuh. Anak-anak pun tampak senang dan menikmati proses belajar yang diberikan Komunitas Dinding. Sejauh ini, orang tua yang ada di pasar memberikan apresiasi.
“Ya. Orang tua mereka senang dengan komunitas kami. Kalau tidak sudah lama kami berhenti. Tapi nyatanya sudah selama enam tahun kami mengajar,” tutup David Mambo (24) yang tercatat di Fakultas Kesehatan Masyarakat. Komunitas ini tak menuntut pujian masyarakat. Hanya ingin, anak-anak di situ bisa mendapatkan pendidikan sebagai bekal masa depan.
Sumber: Manado Post