Saat kerusuhan Etnis Tionghoa, Mei 1998, banyak para wanita yang diperkosa. Melihat hal tersebut terjadi, PPSW (Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita) tidak mau tinggal diam. Kemudian PPSW mendorong terbentuknya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Hingga akhirnya Komnas Perempuan terbentuk untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan di Indonesia.
Berbagai kegiatan mempejuangkan keadilan bagi perempuan berlanjut, salah satunya Komnas Perempuan ingin mendokumentasikan kehidupan para janda di wilayah konflik dan keinginan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merespon permintaan para janda korban konflik di Aceh untuk memperoleh akses sumber daya agar dapat mengatasi persoalan ekonomi dan trauma mereka. Kemudian digagaslah pendirian PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) pada akhir tahun 2000.
Melalui proses refleksi dan diskusi intensif dengan berbagai pihak, kedua gagasan tersebut kemudian dilebur ke dalam sebuah upaya pemberdayaan yang lebih komprehensif. Untuk itu ide yang awalnya akan menggunakan nama “Widows Project” atau “Proyek untuk Janda” diubah tema dan judulnya menjadi lebih provokatif dan ideologis, yaitu dengan menempatkan janda lebih pada kedudukan, peran, dan tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Selain itu, upaya ini diharapkan mampu pula membuat perubahan sosial dengan mengangkat martabat janda dalam masyarakat yang selama ini terlanjur memiliki stereotip negatif. Oleh karena itu, programnya kemudian diusulkan menjadi Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga atau disingkat Program PEKKA yang disepakati oleh semua pihak. Kata Pekka juga dipergunakan untuk menyingkat Perempuan Kepala Keluarga.
Foto dan narasi dari laman PEKKA.