KontraS dan Pakar Hukum Beberkan Kejanggalan Kasus JIS

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menilai penyidikan dalam kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) mengandung banyak pelanggaran prosedur. Pertama, penangkapan para petugas kebersihan dilakukan kepala keamanan JIS. Kedua, bantuan hukum kepada para tersangka tidak optimal. Ketiga, rekonstruksi kasus dilakukan tanpa disertai berita acara.

Dalam siaran pers, Kamis, 14 April 2016, Miko mengatakan banyak kejanggalan dalam proses hukum kasus tersebut. “Kasus JIS dengan tersangka pekerja kebersihan merupakan malicious prosecution atau investigasi dengan niat jahat,” kata Miko dalam diskusi peluncuran buku eksaminasi kasus JIS di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta Selatan, Rabu, 13 April 2016.

Dalam kasus yang melibatkan tujuh tenaga kontrak kebersihan ini, satu pelaku, Azwar, tewas saat disidik di kantor Kepolisian Metro Jakarta Raya. Namun, penyebab kematian Azwar masih gelap, lantaran tidak diotopsi.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan kasus ini tidak hanya melanggar hak para tersangka, namun juga hak korba “Penegak hukum gagal membuktikan adanya peristiwa tindak pidana yang identik sebagai kejahatan seksual,” ujar dia.

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choky Ramadhan menjelaskan kasus JIS merupakan satu kasus yang paling mencolok yang membuktikan lemahnya proses hukum di Indonesia. Menurut dia, penanganan kasus JIS terlihat dipaksakan. Ini terjadi akibat lemahnya bukti yang diperoleh penyidik. Bahkan penetapan tersangka dilakukan hanya berdasarkan keterangan pelapor, yaitu orang tua murid.

Choky mengatakan masalah muncul karena kesaksian ibu pelapor tidak memenuhi syarat, karena yang bersangkutan tidak mengalami, mendengar, dan melihat kejadiannya. Namun, laporan itu menjadi acuan penyidik untuk menetapkan  tersangka. “Proses hukum seperti ini sangat membahayakan penegakan hukum kita,” ujarnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Andalas, Padang, Shinta Agustina mengatakan majelis hakim tidak seimbang dalam memperhatikan bukti dari jaksa dan tersangka. “Proses penyidikan yang berlangsung juga mengindikasikan adanya kekerasan dalam menentukan tersangka,” kata dia.

Indikasi kecerobohan, Shinta melanjutkan, tampak dari sikap majelis hakim yang tidak berusaha menggali penyebab para tersangka mencabut pengakuan mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun penyidik. Menurut dia, alasan pencabutan BAP itu perlu digali karena berkaitan dengan bukti-bukti dalam kasus tersebut. “Apalagi dalam kasus ini anak pelapor dalam memberikan keterangan lebih banyak diarahkan ibunya. Keterangan tersebut juga tidak sesuai dengan alat bukti surat, seperti hasil visum et repertum,” katanya.

Foto dan berita disadur dari sumber.

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *