Wakil Koordinator Kontras, Puri Kencana Putri, mengatakan permintaan itu dilayangkan Luhut pekan lalu, setelah Simposium 1965 berakhir pada 19 April 2016.
“Pemerintah sudah minta data, tapi kita kan nggak bisa kasih, harus ada alas hukumnya. Kemudian harus dijelaskan kepada publik bahwa landasan hukumnya Keputusan Presiden, sebagai contoh, atau Peraturan Presiden,” kata Puri kepada BBC Indonesia.
Perihal landasan hukum menjadi penting karena, menurut Puri, informasi itu menyangkut kepentingan orang banyak.
“Jika kuburan massal kemudian digali tanpa landasan hukum, itu potensial dirusak oleh mereka yang tidak suka dengan upaya pengungkapan kebenaran,” kata Puri.
Kontras, tambah Puri, memiliki data mengenai kuburan massal orang-orang yang dieksekusi pada 1965-1966. Setidaknya ada 16 lokasi yang tersebar di berbagai daerah, termasuk di Jawa Tengah, Sulawesi, dan Sumatra.
Pada Senin (25/04), Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menyatakan Presiden Joko Widodo memerintahkannya untuk mencari kuburan massal korban peristiwa 1965 dan lanjutannya.
Luhut menegaskan pemerintah baru bisa meminta maaf kepada korban peristiwa 1965, jika ditemukan mass grave atau kuburan massalnya.
Luhut juga meminta lembaga swadaya masyarakat yang kerap meminta pemerintah untuk meminta maaf atas peristiwa 1965 agar memberikan informasi jika mengetahui kuburan massal yang dimaksud.
Jika ada, Purnawirawan Jenderal TNI itu juga mengaku tidak segan mendatangi lokasi kuburan tersebut. “Ya sudah silakan kapan dia tunjukin, kamu sampaikan dari Menko Polhukam, kapan saya pergi dengan dia,” kata Luhut.
Berbagai laporan terkait lokasi kuburan massal tragedi 1965 memang sudah banyak diungkap. Selain di Wonosobo, kuburan massal juga diduga ada di Pati dengan perkiraan berisi 15 jasad manusia.
Sejumlah laporan mengindikasikan kuburan-kuburan massal tragedi 1965 tidak terpusat di satu lokasi tetapi tersebar di banyak titik.
Foto dan berita diambil dari sumber.