Elang Bondol – yang merupakan maskot DKI Jakarta – dahulu mudah ditemui di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Namun sekarang hewan ini semakin tersingkir, bahkan tak ada lagi keberadaannya di ibukota.
Hanya tersisa di kawasan Kepulauan Seribu, itu pun setelah ada upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh Jakarta Animal Aid Network, JAAN, sejak 2004 lalu.
Presiden Joko Widodo berencana akan melepas empat ekor Elang Bondol kembali ke alam liar pada Kamis (14/04).
Pada pertengahan Maret 2016 lalu, saya melakukan perjalanan ke Pulau Kotok untuk melihat upaya rehabiltasi Elang Bondol.
Ketika kapal yang membawa mulai merapat di dermaga Pulau Kotok, dua ekor anjing menyambut dengan gonggongan – seolah mengucapkan selamat datang.
Di belakangnya, berjalan Mirja, seorang pria bertubuh kecil, yang merupakan pegiat JAAN.
Mirja mengajak kami melewati jembatan dermaga pulau menuju dua kandang besar. Bunyi burung mirip dengan rengekan bayi, terdengar sangat kencang.
“Itu adalah suara Elang Bondol,” kata Mirja.
Elang-elang Bondol ini ditempatkan sesuai dengan tahapan rehabilitasi, dan telah lolos uji medis dan dinyatakan sehat sebelum dibawa ke Pulau Kotok.
“Kalau untuk prosesnya dilakukan pengecekan medis dulu di Jakarta, karena takutnya satwa yang disita itu sudah dicampur dengan satwa lain seperti di pasar burung, itu takutnya sudah terjangkit virus H5N1,” ungkapnya.
Menurutnya, “(Virus) flu burung yang kita takutkan. Jadi untuk pengecekan medis utama itu di Jakarta, kalau di sana hasilnya bagus, baru masuk ke sini.”
Setibanya di Pulau Kotok, elang-elang itu pun kembali menjalani tes kesehatan, untuk menentukan di kandang mana mereka akan ditempatkan.
“Kalau di sini hasilnya bagus, akan dimasukkan ke kandang-kadang berikutnya. Kalau kondisinya bagus ke kandang, kalau fisiknya bagus ke karantina, sosialisasi, dan pra rilis,” kata Mirja, yang bermukim di Pulau Kotok bersama dengan pegiat JAAN lainnya untuk mengawasi proses rehabilitasi.
Tetapi, satwa langka yang sebagian besar berasal dari sitaan dan korban perdagangan ilegal ini, tak sedikit yang mengalami cacat – bahkan tak bisa dilepaskan kembali ke alam.
Dia menjelaskan sejumlah Elang Bondol yang berada di kadang sanctuary mengalami cacat, akibat ulah para pedagang satwa langka ilegal.
“Pada saat baru disita ada beberapa elang yang kurang layak untuk dilepasliarkan,” ungkap Mirja.
“Seperti di kandang sanctuary ini, ada beberapa elang yang sudah cacat dan tak layak rilis, ada yang dicabut paksa bulu primernya, ada yang dipotong, ada yang lebih parah lagi yaitu dipatahkan tulangnya,” jelasnya.
Dia menambahkan: “Ada yang sayapnya masih ada, tapi tulangnya sudah patah, jadi tak bisa terbang lagi.”
Untuk menangani elang yang cacat, pihaknya mengaku memiliki dokter khusus.
Selain kandang-kandang yang ada di bagian depan pulau Kotok, menurutnya, ada pula kandang lain yang tersembunyi – agar elang-elang ini tidak sering melihat manusia. Ini dilakukan supaya mereka dapat cepat beradaptasi di alam liar.
“Kita ke sana hanya ketika memberi makan, dan itu pun ketika mereka ‘tidur'”.
Selain itu, ada kandang lain yang berada di atas laut di pinggir pulau yang digunakan sebagai tempat terakhir sebelum Elang ini dilepaskan.
“Kalau untuk sampai dilepasliarkan itu tak bisa kita tentukan, tergantung dari kesiapan elang tersebut. Dalam proses rehabilitasi kita hanya mengatur jalurnya saja,” paparnya.
“Kalau untuk kesiapan elangnya, siap atau tidak, ada yang direhabilitasi hanya butuh cuma tiga bulan yang bisa dilepasliarkan. Tetapi ada hasil penyitaan dari anakan itu sampai sekarang enggak bisa terbang. Yang sulit itu adalah (elang) cacat mental plus cacatnya sudah fatal,” kata dia.
Selain elang bondol, di pulau Kotok juga dilakukan rehabilitasi elang laut yang juga tergolong satwa langka.
Pelepasliaran elang bondol pertama kali yaitu pada 2005 lalu, setahun setelah delapan ekor elang hasil sitaan yang akan diselundupkan ke Arab Saudi dari bandara Sukarno Hatta dibawa ke pulau kotok pada 2004 lalu.
Saat ini Pusat rehabilitasi Elang di Pulau Kotok masih merawat 39 ekor dan sudah melepaskan 69 ekor.
Ironisnya para pedagang satwa di pasar burung Pramuka masih tetap menjual burung-burung yang dilindungi – termasuk elang bondol.
Pelakunya diketahui banyak mengambilnya dari wilayah Sumatera dan Kalimantan. Walaupun di dua wilayah itu, populasi elang itu diketahui masih banyak, tetapi dikhawatirkan akan terus menyusur karena praktek perdagangan liar.
Pendiri JAAN, Femke Den Haas mengatakan upaya rehabilitasi dan pelepasliaran elang bondol ini seharusnya dibarengi dengan penegakan hukum.
“Sangat khawatir dengan elang yang kita rilis ke alam bisa juga kembali ditangkap oleh masyarakat,” kata Femke.
“Untuk menghindari itu kami melakukan edukasi, sosialisasi ke masyarakat, terus kami juga memasang GPS, kami juga masang microchip, tetapi semua ini sangat sangat mahal, dan dana ini murni dari JAAN yaitu dari LSM,” jelasnya.
Karena itulah dia mengharapkan otoritas terkait di DKI Jakarta melakukan upaya-upaya kongkrit terkait perdagangan ilegalnya.
“Nah dengan kita habiskan begitu banyak waktu dan banyak uang, untuk melindungi burung elang ini, maskot DKI, ya kita juga berharap pemerintah bersikap tegas untuk menghentikan perdagangan illegal yang ada di Jakarta,” tandas Femke.
Menurutnya, saat ini hukuman sangat rendah. Dia mengharapkan upaya revisi undang-undang terkait akan membuahkan haisl. “Mudah-mudahan ada revisi yang bagus, intinya pidana akan lebih berat gitu,” kata dia.
Sementara Kepala BKSDA, Awen Supranata mengatakan upaya pencegahan Perdagangan illegal elang bondol telah dilakukan belum dapat menekan peredaran satwa liar
“Satwa-satwa yang dilindungi ini dipasaran masih sering ditemukan, karena ada pehobi dan ada permintaan yang kita pikir tidak masuk akal,” kata Awen.
Dia kemudian mengaku telah melakukan upaya penertiban. “Kita juga mengajak penegak hukum lain, pihak bea cukai membantu kita untuk mencegah, baik perdagangan illegal atau usaha penyelundupan,” ungkap Awen.
Sebaliknya, Femke mengatakan sebaiknya pemerintah menutup pasar-pasar burung yang sudah terbukti melakukan perdagangan satwa langka.
Sejumlah lokasi yang menjadi tempat penjualan satwa liar – seperti di kawasan jalan Pramuka dan Jatinegara – masih dapat beroperasi.
Foto dan berita diambil dari sumber.