KOMUNITAS MERAJUT QUIQUI MAKASSAR; Menambah Teman Sambil Berbagi Ilmu Merajut

Terbentuk tahun 2011, komunitas ini menjadi ajang belajar merajut bagi perempuan di Makassar. Tak hanya merajut, berbagai topik hangat juga menjadi bahan pembicaraan ketika anggota komunitas berkumpul. Quiqui dalam bahasa Makassar berarti rajut, jadi menquiqui berarti merajut. Dahulu, seni merajut identik dengan kegiatan ibu-ibu lanjut usia untuk mengisi waktu luang. Namun, kini berbeda. Seni yang sudah ada sejak abad ke-18 dibawa oleh para pedagang Gujarat tersebut mulai digemari berbagai kalangan, dari ibu-ibu, para pekerja, sampai remaja bangku sekolah.

Bagi para anggota Komunitas Quiqui, merajut adalah kegiatan yang sangat mengasyikkan. Tak hanya menyalurkan hobi di waktu senggang, tetapi juga ada nilai ekonomis yang bisa menjadi sumber penghasilan. Markas Komunitas Quiqui menempati sebuah rumah milik Fitriyani Dalay. Di rumah perempuan yang akrab disapa Piyo ini, juga tidak hanya menjadi tempat berkumpul anggota Komunitas Quiqui saja. Tapi ada juga berbagai kegiatan sosial lain. Selain merajut, terdapat pula penerbit Ininnawa yang buku-bukunya berisi tentang kajian kawasan Sulawesi Selatan, kelompok diskusi studi perkotaan Komunitas Tanahindie, dan di teras rumah terdapat perpustakaan umum, Kampung Buku.

Komunitas Quiqui berdiri bermula ketika salah seorang teman Piyo bernama Eka yang sehari-hari ikut membantu mengelola perpustakaan menyempatkan diri merajut di sela-sela mengurus perpustakaan. Piyo pun tertarik mencoba saat temannya itu mendapat kiriman segepok benang aneka warna dari Bandung. Benang-benang tersebut kemudian dijadikan bahan untuk membuat bermacam hiasan. Menurut istri dari Anwar Jimpe Rahman ini, pada dasarnya merajut itu tidak susah, jadi belajar sebentar saja pun sudah akan bisa. Tak hanya Piyo yang belajar merajut. Orang-orang yang bisa berkumpul di sana pun akhirnya melakukan hal serupa. Tak heran jika kemudian rumah tersebut menjadi ajang ngumpul untuk merajut, yang pesertanya termasuk dokter gigi dan analis. Kalau tidak ada yang membawa benang, di rumah itu pun juga dijual benangnya.

Aktivitas di Komunitas Quiqui pun kemudian diunggah ke Facebook. Ternyata, dampaknya luar biasa. Para perempuan di berbagai kawasan di kota Makassar lalu berdatangan. Tujuannya bermacam-macam, tak hanya belajar merajut, tetapi terkadang mereka sengaja datang untuk mencari teman atau melihat teknik terbaru. Di antara mereka memang sudah ada yang bisa merajut, bahkan sudah mahir. Tetapi karena merasa tidak seru merajut sendirian di rumah, lalu mereka datang ke sana untuk mencari teman merajut, agar kegiatan merajut jadi semakin seru. Ketika pertama kali datang, di antara mereka juga tidak saling kenal satu sama lain. Baru mulai akrab ketika sudah saling merajut dan bertukar pengalaman.

Uun Fahirah, contohnya. Pertama kali merajut justru ketika berada di Jepang mendampingi suaminya, seorang dosen di Unhas, saat melanjutkan pendidikan. Di saat senggang, ibu dua anak ini mengikuti kursus sulam pita. Setelah kembali ke Makassar tahun 2012, Uun melihat ternyata di Makassar ada komunitas merajut. Dia pun lantas bergabung untuk belajar. Di kesempatan berbeda, gantian dia yang berbagi pengalaman mengajari teman-temannya sulam pita. Menurut Uun, ada satu hal yang membuat dia suka dengan kegiatan merajut. Ketika merajut, ia merasa waktu adalah miliknya sendiri. Tidak ada yang mengganggu. Karena itu, kegiatan merajut baru ia lakukan setelah pekerjaan rumah lainnya selesai.

Begitupun dengan Alfu, seorang ibu muda. Ia tertarik merajut sejak 2011 setelah melihat Komunitas Quiqui dari internet. Begitu melihat, Alfu kemudian belajar sendiri di rumah dan baru bergabung dengan Komunitas Quiqui setelah sedikit bisa. Istri dari seorang PNS di Dinas Kelautan Makassar ini merasa lebih asyik begitu memperdalam seni rajut. Berbagai macam kerajinan pun sudah dihasilkan dari tangannya. Kadang ia jual di berbagai pameran di Makassar atau dimanfaatkan sendiri, seperti jaket untuk anaknya. Rasanya tentu lebih puas. Alfu biasa merajut di malam hari sambil melihat teve.

Sementara Diah, yang bergabung dengan Komunitas Quiqui pada 2012, lebih banyak membuat rajutan boneka, burung, dan sebagainya. Sama seperti Alfu, barang-barang hasil rajutannya pun kadang dijual, kalau harganya cocok atau dijadikan hadiah ulang tahun teman atau kerabat.

Tahun 2012, aktivitas merajut di Makassar mencapai puncaknya. Kegemaran itu melanda remaja hingga orang dewasa. Bahkan saat itu ada istilah di kalangan remaja, ‘kalau anak remaja tidak bisa merajut itu namanya tidak keren’. Saat itu tak cuma hari Minggu, pada hari-hari biasa pun ada saja yang datang ke markas Komunitas Quiqui. Biasanya mereka adalah pelajar SMA sepulang sekolah. Bagi Piyo, ada sebuah kebanggaan rumahnya bisa menjadi tempat berkumpul sekaligus melakukan kegiatan–kegiatan positif. Apalagi setelah berkumpul, para wanita yang semula tidak saling mengenal itu bisa saling berinteraksi dan berbagi pengetahuan. Misalnya, yang semula hanya menguasai teknik dasar akhirnya bisa belajar lagi. Demikian pula yang bisa merajut pita, akhirnya bisa berbagi pengalaman, dan seterusnya.

Jenis barang yang dibuat juga variatif. Jika biasanya hanya membuat taplak, hiasan meja, tutup galon, atau pembungkus kotak tisu, kemudian mencoba membuat boneka binatang, hiasan bunga timbul, dan sebagainya. Selain sharing ke sesama teman, mereka juga belajar melalui kanal Youtube atau buku. Dalam perjalanannya, nama Komunitas Quiqui tersebar luas melalui dunia maya, baik Twitter, Instagram, radio, serta media cetak di Makassar. Yang menarik, saat berkumpul, para anggota komunitas tidak hanya berbicara soal merajut saja tetapi sekaligus juga membahas banyak hal, mulai persoalan sosial kemasyarakatan, masalah perempuan, bahkan membahas masalah keluarga masing-masing sebatas yang bisa disampaikan.

Sifat dari Komunitas Quiqui sendiri cair, siapa pun bisa bergabung, hubungannya setara karena tidak ada ketua maupun pengurus lain, dan semua anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama. Saat ini jumlah anggota yang aktif sekali sekitar 10 orang, sementara lainnya yang keluar masuk belajar merajut sudah ratusan orang. Piyo melihat bahwa kerajinan merajut tidak sekedar untuk mainan, tetapi memiliki nilai ekonomi karena hasilnya bisa dijual. Karena itu, banyak yang semula merajut hanya untuk mengisi waktu luang, kemudian justru menjadikan seluruh waktunya untuk merajut.

Di tahun 2012, Piyo sempat membuat acara “Bom Benang”. Waktu itu bersama Komunitas Quiqui ia membuat kain rajut berukuran raksasa yang dibentangkan di tengah-tengah Taman Segitiga di Jalan Sultan Hassanudin, Makassar. Bentangan kain aneka warna itu bisa dilihat dari berbagai arah. Saking besarnya ukuran kain, media menyebutkan andaikata diurai, panjang benang rajutan setara dengan jarak kota Makassar sampai Kabupaten Maros. Dan sampai sekarang event itu masih tetap dilaksanakan antara Juli sampai Desember. Selain itu, Piyo juga pernah menghadirkan karya seni rajut untuk pameran Jakarta Bienalle.

Sumber: Blog Indonesia Feature

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *