Hak Masyarakat Adat Diminta AMAN Masuk dalam Dokumen Iklim

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang perubahan iklim di Markas Besar PBB, New York, pada Jumat, 22 April 2016. Ada 171 negara yang ikut menandatangani perjanjian itu.

“Kami mendorong pemerintah untuk mewujudkan isi Perjanjian Paris itu dengan memasukkan hak-hak masyarakat adat dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC),” kata aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mina Setra dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Mina, salah satu persoalan serius yang dihadapi masyarakat adat adalah meningkatnya kekerasan terhadap pemimpin-pemimpin adat atau aktivis yang menentang proyek-proyek yang membahayakan komunitas dan hutan. Misalnya, pembunuhan yang terjadi terhadap aktivis lingkungan Berta Caceres di Honduras bulan lalu.

Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian Paris didukung 195 negara, berbeda dengan periode pra-2015, yang ditandai absennya negara-negara kunci seperti AS dan Australia.

Perjanjian Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbang setidaknya 55% emisi gas rumah kaca.

Dalam pidatonya, Siti Nurbaya menjelaskan Indonesia bergabung menjadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Hal ini atas pertimbangan pentingnya subyek lingkungan sesuai UUD 1945 untuk perlunya menyediakan lingkungan yang baik bagi warga negara, serta pentingnya dukungan dari DPR Republik Indonesia.

Indonesia menyadari bahwa kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim. Terutama karena kawasan hutan yang luasnya mencapai 65% dari luas wilayah negara Indonesia 187 juta kilometer persegi yang juga merupakan tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Siti Nurbaya menjelaskan langkah-langkah konsisten yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka pengendalian perubahan iklim.  Antara lain membentuk Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016, sebagai langkah cepat Indonesia merespon pasca kebakaran lahan dan hutan 2015. Indonesia juga melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut.

Presiden Indonesia baru-baru ini telah menyatakan moratorium perizinan sawit dan tambang. Pemerintah daerah telah merespon positif arahan Presiden ini, yakni Gubernur Aceh memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Ekosistem Leuser, dan Gubernur Kalimantan Timur memberlakukan moratorium tambang batu bara.

Indonesia telah melibatkan segenap komponen masyarakat (swasta, kampus, pemerintah daerah, dan berbagai kelompok masyarakat) untuk berpartisipasi dalam aksi terkait iklim, mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Termasuk melalui program nasional yang disebut Proklim (Program Kampung Iklim).

Siti Nurbaya menjelaskan sejarah telah mencatat, adalah mungkin untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sejalan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah ditunjukkan oleh sejumlah negara maju.

“Indonesia mendorong negara-negara maju untuk menunjukkan kepemimpinan dalam meningkatkan ambisi sebelum dan setelah 2020, baik dalam mengurangi emisi maupun dalam memberikan dukungan kepada negara-negara berkembang dalam bentuk keuangan, teknologi dan peningkatan kapasitas, dalam rangka  memenuhi target menahan peningkatan suhu global di bawah 2ºC,” katanya.

 

Ilustrasi dan foto diambil dari Tempo.

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *