Aliansi Masyarakat Adat Minta MK Awasi Putusan Terkait Pengembalian Hutan Adat

Direktur Epistema Institute Yance Arizona mengharapkan agar Mahkamah Konsitusi (MK) dapat memantau pelaksanaan putusan MK Nomer 35 Tahun 2012 sebagai pengembalian hak-hak hutan dan masyarakat adat.

Di dalam putusan itu juga terdapat putusan untuk mempermudah syarat masyarakat adat dalam mengubah status desa menjadi desa adat.

Yance menyatakan, dalam putusan MK itu ditegaskan bahwa hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara. Namun, dalam praktiknya, sampai saat ini belum ada satu hutan adat pun yang dibebaskan dari hutan negara.

Salah satu perjuangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), memetakan wilayah adat masing-masing. Mereka membuat plang di hutan bertulisan “Ini hutan adat bukan hutan negara”. Hal tersebut merupakan salah satu upaya mengimplementasikan putusan MK 35.

“Putusan MK itu merupakan titik balik di mana negara memposisikan masyarakat adat. Seharusnya, pemerintah merespon baik dan membuat kebijakan atas putusan MK,” kata Yance, saat melakukan audiensi dengan Ketua Mahkamah Agung (MK) Arief Hidayat, di Gedung MK, Senin (30/5/2016).

Ia mengatakan, dalam pembebasan desa adat ada syarat serta beban yang harus dipenuhi oleh kelompok adat. Hal ini, tentu membebankan kelompok masyarakat adat untuk melakukan pembebasan. Padahal, sudah ada keputusan Perda sebagai legalitas atas pengakuan dari daerah.

“Di lapangan, masyarakat adat sulit untuk melakukan pembuktian seperti penelitian dan desiminasi yang harus dibuktikan. Intinya kedepan bagimana masyarakat adat bisa mudah memperoleh status hukum,” ujar dia.

Permasalahan lainya, juga terjadi konflik di lapangan. Dari data tahun 2015, ada 217 masyarakat adat yang dipidanakan atas masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.

“Mereka dikriminalisasi bukan kesalahannya, tapi ingin merebut haknya kembali atas putusan MK. Tidak jarang masyarakat adat harus bermasalah dengan pengusaha ataupun pemerintah,” ujar dia.

Ketua Mahkamah Agung (MK) Arief Hidayat mengatakan putusan MK memang berbeda dengan putusan pengadilan negeri yang bersifat mengikat dan memaksa.

MK tidak memiliki lembaga eksekutorial sebagai pengawas dan implementasi atas putusan-putusan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pelaksanaanya tergantung pada kesadaran dan ketaatan untuk mengikuti putusan.

“Eksekusi putusan itu susah, karena tidak ada lembaga khusus. Karena itu, putusan MK tergantung pada kesadaran dan ketaatan untuk tunduk atau tidak,” ujar dia.

Menurut dia, perlu ada pengawasan dari berbagai pemangku kebijakan untuk mengawal agar putusan MK dapat dijalankan. Oleh karena itu, perlu kesabaran dalam mengawalnya.

“Kami tetap konsisten akan putusan sebelumnya. Karena putusan MK itu di desain secara final dan mengikat,” kata Arief.

Ia mengatakan, tidak hanya MK di Indonesia, pengalaman serupa juga terjadi pada MK di negara yang tidak memiliki eksekutorial. Perlu waktu bertahun-tahun agar keputusan MK dapat diimplementasikan dengan baik.

“Ada negara yang sampai 20-30 tahun baru bisa menjalankan putusan MK negaranya dengan baik. Maka tidak tidak bisa patah semangat atau menjadi apatis terhadap putusan kami,” kata dia.

 

Sumber: Kompas.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *