Yuk, Cari Tahu Mengapa Video Games

Apa kebalikan dari bermain?

Insting pertama kita mungkin mengatakan: “bekerja”. Tetapi ada jawaban yang lebih baik dari pertanyaan tersebut yang bisa menjadi kunci untuk mengembangkan pengobatan baru yang kuat di bidang kesehatan mental.

            Kebalikan dari bermain bukanlah bekerja. Itu depresi.

Ide ini dikemukakan pertama kali oleh Brian Sutton-Smith, seorang psikolog bermain. Sutton-Smith mulai terkenal pada tahun 1950-an dan 1960-an dalam mempelajari anak-anak dan orang dewasa ketika bermain. Dia mengamati bahwa kebanyakan orang cenderung mengalami kepercayaan diri yang tinggi, adanya peningkatkan energi fisik, dan emosi positif yang kuat, seperti rasa ingin tahu dan kegembiraan saat bermain. Ini adalah situasi yang kontras dengan depresi. Orang-orang yang secara klinis mengalami depresi terlihat kekurangan energi fisik untuk terlibat dengan tugas biasa yang dilakukan sehari-hari. Mereka sangat pesimis terutama mengenai kemampuan diri mereka sendiri dan mereka merasakan ketiadaan emosi positif.

Sebagian besar penelitian yang dilakukan oleh Sutton-Smith jauh sebelum terjadinya kemajuan teknologi, yang dimana ilmuwan masa kini memungkinkan untuk memindai otak untuk melihat bukti pola aliran darah yang berkaitan dengan penyakit mental dan kesejahteraan. Ia pun bekerja jauh sebelum meledaknya video game – menurut sebuah meta-analisis terdapat lebih dari 1,23 miliar orang bermain secara global, termasuk 155 juta orang dari Amerika Serikat. Berkat pesatnya perkembangan penelitian ilmiah, kita menjadi tahu bahwa “kebalikan dari bermain ialah depresi” merupakan deskripsi sempurna dari level neurologis pada yang terjadi dengan 1,23 miliar video gamers.

Dalam beberapa studi fMRI pada beberapa tahun terakhir, termasuk yang dilakukan di Stanford University, mereka telah mencoba mengintip ke dalam otak gamer. Hasil mereka menunjukkan bahwa ketika kita bermain game terdapat dua daerah otak yang terus distimulasi: bagian yang paling berkaitan dengan motivasi dan tujuan (sering disebut-sebut sebagai reward pathways) dan bagian yang paling terkait dengan proses belajar serta memori (hippocampus). Penjelasan tersebut menjadi masuk akal bahwa kedua bagian otak ini menjadi hiperaktif ketika kita bermain video game. Karena saat kita bermain game, kita dengan segera dan terus-menerus berfokus pada tujuan. Entah itu untuk memecahkan teka-teki, menemukan benda yang tersembunyi, mencapai garis finish, atau mencetak poin yang lebih tinggi dari pemain lain akan menjadi tujuan perhatian kita dan menciptakan rasa motivasi dan juga tekad.

Sementara itu, semua game, bukan hanya educational game telah dirancang untuk pengalaman belajar. Level 1 dari setiap permainan dirancang mudah karena pemain masih akan menemukan kesulitan untuk menyelesaikan saat pertama kali mencobanya. Setelah itu akan terjadi proses pembelajaran karena pemain akan mengetahui aturan-aturan, menguji strategi yang berbeda, dan meningkatkan skill permainan mereka. Mereka akan berhasil dan maju ke tahapan permainan berikutnya yang semakin sulit yang membutuhkan pemain untuk terus belajar dan meningkatkan permainan selama mereka bermain. Pengalaman ini konsisten dirasakan dan menjadi kesenangan oleh pemain game. Ketika tidak ada lagi yang bisa dipelajari dan tidak menemukan cara lagi untuk meningkatkan permainan, kita biasanya berhenti bermain. Inilah sebabnya mengapa orang dewasa tidak bermain tic-tac-toe! Selama permainan yang kita mainkan mengharuskan kita untuk meningkatkan permainan, maka hippocampus kita akan terlibat.

Jika kalian pernah bertanya-tanya, kenapa kita atau orang kesayangan kita bisa gagal 20x berturut-turut pada permainan Angry Birds atau Candy Crush Saga dan masih bertekad untuk mencoba lagi? Pola aktivasi syaraflah yang menjadi alasannya. Untuk yang bukan pemain, kecenderungan untuk mencoba lagi dan lagi dalam rangka menyelesaikan level game dinilai obsesif dan irasional. Perilaku bertahan inilah yang diharapkan dari seseorang yang otaknya telah prima untuk tetap fokus pada tujuan dan untuk mendapatkan kepercayaan diri dalam kemampuan untuk belajar serta menjadi lebih baik.

Sekarang adalah hal yang benar-benar menarik untuk peneliti yang tertarik pada hubungan antara bermain game dan depresi. Kedua daerah otak, yaitu reward pathways dan hiccocampus akan kurang terstimulasi dan bahkan dapat mengalami penyusutan ketika kita mengalami depresi klinis. Dengan kata lain, bermain video game secara harfiah merupakan kebalikan dari neurologis depresi.

Ketika reward pathways tidak aktif, kita tidak dapat mengantisipasi kesuksesan. Akibatnya kita merasa pesimis dan kurang motivasi untuk melakukan apapun. Kurangnya aliran darah ke materi abu-abu di hippocampus dikaitkan dengan kesulitan mempelajari keterampilan baru atau mengembangkan koping strategi.               Tidaklah mengherankan beberapa penelitian besar mengenai video game menunjukkan korelasi antara bermain 20-30 jam seminggu (tergantung pada studi) dan depresi! Beberapa peneliti awalnya menafsirkan ini sebagai bukti bahwa video game dapat menyebabkan depresi. Tetapi sekarang penafsiran yang lebih umum di antara para peneliti ialah banyak pemain yang sedang tertekan yang mencoba mengobati diri sendiri melalui permainan. Mereka mengalami kelegaan dari rasa dramatik ketika bermain, maka dari itu semakin mereka merasa depresi, mereka akan semakin bermain.

Mengobati diri sendiri dengan permainan dapat berbahaya. Jika kita bermain game dengan pemikiran untuk melarikan diri, untuk mengabaikan masalah, memblokir dan menghindari perasaan yang tidak menyenangkan atau untuk menghindari situasi yang membuat stres, kita mungkin mengalami beberapa efek negatif yang telah ditemukan di banyak penelitian yang terkait dengan bermain game, seperti kecemasan, depresi, dan isolasi sosial. Hal itu dikarenakan semakin kita merasa depresi atau semakin stres, frekuensi bermain game akan semakin sering – akan menyebabkan sedikit waktu dan usaha untuk melakukan tindakan yang dapat membantu untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, masalah yang akan dihadapi menjadi lebih buruk, sehingga kita menghabiskan lebih banyak waktu bermain game untuk melarikan diri. Ini merupakan lingkaran setan. Jika kita mengenal seseorang yang kecanduan bermain game, mereka hampir pasti bermain dengan pola pikir eskapis. Bahkan para peneliti telah menemukan bahwa “penggunaan game untuk melarikan diri dari kehidupan sehari-hari” merupakan faktor nomor 1 yang memprediksi patologis bermain game.

Secara mengejutkan, sebesar 41% pemain game menjawab bahwa mereka bermain game untuk melarikan diri dari ke kehidupan sehari-hari. Orang tua, pasangan, dan pengajar membuat situasi semakin buruk dengan mengingatkan gamer untuk “melakukan sesuatu yang nyata” atau berhenti membuang-buang banyak waktu. Hal semacam ini meyakinkan gamer bahwa bermain tidaklah memiliki tujuan, tidak memiliki koneksi yang berarti di kehidupan sehari-hari, sehingga membuat mereka untuk melihat permainan sebagai “pelarian” dari realitas yang pada akhirnya mereka menjadi kecanduan.

Sebenarnya bermain game untuk merubah suasana hati bukanlah hal yang menjadi masalah. Kuncinya adalah bermain game favorit kita dan tentunya memiliki tujuan-tujuan yang positif, seperti yang dapat mengembangkan kreativitas kita (seperti dalam permainan Minecraft), belajar untuk memecahkan masalah baru (dalam permainan seperti Portal), memperkuat hubungan dengan teman dan keluarga (dengan Words With Friends), semakin baik dalam menghadapi kegagalan (di Call of Duty), atau yang dapat meningkatkan kinerja kita dalam situasi bertekanan tinggi (seperti di League of Legends).

Para peneliti telah menemukan bahwa jenis permainan yang memiliki tujuan dapat membangun kepercayaan diri dan keterampilan pemecahan masalah di dunia nyata. Yang lebih penting, bermain yang memiliki tujuan memiliki dampak yang berlawanan dari pelarian. Yaitu mengurangi depresi, lebih terhubung, dan lebih resilien di dunia nyata. Hal tersebut dikarenakan setiap kita bermain, kita memikirkan sumber-sumber mental, emosi, dan sosial yang kita bangun. Kita tidak melihat bermain terpisah dari kehidupan nyata, sebaliknya kita melihat bermain sebagai cara penting untuk membantu kita berlatih keterampilan nyata dan bermakna.

Kita tidak harus mengubah permainan yang akan kita mainkan, tetapi kita hanya perlu fokus pada cara permainan yang membuat kita menjadi lebih baik. Ketika kita melakukannya, kita menjadi lebih percaya bahwa kekuatan yang kita bangun ketika bermain dapat kita bawa ke tantangan sehari-hari. Bahkan, seperti yang ditunjukkan dalam buku SuperBetter, semakin kita sadar untuk berpikir bagaimana bermain membuat kita menjadi lebih baik, semakin mudah bagi kita dalam mengaktifkan gameful mindset yang ditandai dengan peningkatan aktivitas pada jalur reward dan hippocampus, pola pikir yang merupakan kebalikan dari neurologis depresi- dalam menghadapi rintangan di kehidupan nyata.

Hipotesis ini sudah diuji selama lima tahun belakangan ini untuk melihat apakah seseorang yang berjuang menghadapi depresi, kecemasan, dan cedera trauma otak dapat diajarkan untuk menerapkan cara berpikir yang “gameful” dan pemecahan masalah untuk tantangan nyata. Sejauh ini, hasilnya menarik. Dalam sebuah studi terkontrol yang dilakukan secara acak oleh peneliti psikologi di Unniversity of Pennsylvania, ditemukan bahwa setelah 30 hari mereka dilatih untuk melakukan tantangan sehari-hari seperti di dalam game, seseorang yang menderita depresi klinis secara signifikan berkurang rasa tertekan dan kecemasannya, serta mengalami suasana hati yang lebih baik, self-efficacy yang lebih tinggi, dan perasaan bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk berhasil dalam memecahkan masalah mereka sendiri (peserta menggunakan sebuah aplikasi yang disebut SuperBetter, yang khusus dirancang untuk penelitian ini). Dalam percobaan yang didanai oleh National Institutes of Health dan dilakukan oleh Ohio State University Medical Research Center, ditemukan adanya pengurangan serupa dalam depresi dan perbaikan suasana hati antara pasien cedera otak traumatis ringan sampai sedang dengan yang mengikuti program SuperBetter.

Hal ini sungguh menggembirakan mengenai potensi pendekatan sistematis seperti SuperBetter dapat membantu seseorang untuk belajar untuk meraih mental dan emosional yang tangguh dalam kehidupan sehari-hari karena permainan. Tapi kita tidak perlu program khusus untuk mendapatkan keuntungan dari ide bahwa kebalikan dari bermain bukanlah bekerja, melainkan depresi. Siapapun dapat belajar untuk dapat meraih mental dan emosional yang tangguh dalam menghadapi rintangan yang sulit, hanya dengan mulai berpikir dan berbicara cara-cara dalam game yang dapat membantu kita menjadi lebih baik. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu mengaktifkan otak kita dengan cara yang sama seperti pada video game, kita dapat memulai dengan melihat diri kita sebagai seseorang yang berorientasi pada tujuan, tangguh dalam menghadapi tantangan, dan selalu mampu untuk belajar serta melakukan peningkatan.

Apabila kita mengenal seseorang yang kerajingan bermain game, cobalah mulai percakapan dengan orang tersebut mengenai bagaimana game dapat membuat kita menjadi lebih baik. Berikut ini terdapat beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan kepada gamer dimanapun, atau kepada diri kita sendiri – apabila kita sering bermain game.  Apa yang membuat game ini terasa sulit?Apa keahlian atau kemampuan yang kita butuhkan untuk terampil di game ini?Apakah sekarang kamu semakin membaik semenjak kamu memulai bermain game ini?Apakah ada bagian dari kehidupan sehari-hari kita yang bisa diterapkan dengan kemampuan atau bakat yang sama untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan? Kemudian tanyakan kepada gamer pertanyaan yang paling kuat, karena merasa terhubung jauh lebih baik dari melarikan diri: Can I play with you?

Sumber: Get Happy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *