Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) adalah sebuah lembaga penelitian di Universitas Gadjah Mada dengan fokus terhadap persoalan sosial di kawasan Asia Tenggara. Pusat studi ini didirikan pada tanggal 1 April 1986 dengan nama Pusat Antar Universitas (PAU) Sosial. Kemudian, di bawah kepemimpinan Prof. Bambang Purwanto pada tahun 2001, nama PSSAT disematkan untuk menegaskan komitmen terhadap studi tentang Asia Tenggara.
Bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang plural dan multikultural telah melewati berbagai fase penting sejarah yang membentuk karakter terkini masyarakatnya, mulai dari perkembangan peradaban masyarakat di kawasan ini, pengalaman kolonialisme, perang dunia, perang dingin, dan krisis ekonomi global. Dinamika sejarah tersebut memperkental keberagaman negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang muncul dalam berbagai bentuk peninggalan sejarah, ekspresi budaya, agama dan keyakinan, taraf ekonomi dan sosial masyarakatnya, hingga pemerintahan dan politik.
Sebagai sebuah bangunan pengetahuan, kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang dinamis dan menarik untuk dikaji. Tidak hanya kawasan ini secara pasif menjadi arena pertarungan berbagai macam wacana politik, sosial, budaya dan keamanan regional, namun kawasan ini juga mampu memberikan warna dalam dinamika diskursus regional tersebut. Keputusan politik para pemimpin kawasan untuk menyatukan diri dan mengidentifikasi diri sebagai satu komunitas dalam ASEAN merupakan refleksi nyata dari dinamika tersebut. Terkait dengan fenomena ini, beberapa hal yang menarik muncul.
Pertama, hal ini menunjukkan menguatnya kapasitas agensi kawasan Asia Tenggara. Kedua, untuk pertama kalinya masyarakat internasional dapat melihat kawasan Asia Tenggara yang sangat majemuk secara kultural, sosial, ekonomi maupun orientasi politik sebagai satu identitas komunitas, meski kemudian pemahaman mengenai komunitas masih menjadi hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Ketiga, hal ini membawa konsekuensi epistemologis dengan memberikan alternatif melihat kawasan Asia Tenggara dengan pendekatan regionalisme, meskipun kemudian masih belum dapat sepenuhnya memisahkan diri dari cara pandang yang Euro-American sentris.
Namun demikian, munculnya ASEAN sebagai fenomena regionalisme kawasan bukanlah tanpa kritik. Saat ini, ASEAN telah menjadi narasi dominan kalau bukan tunggal dalam memahami Asia Tenggara. Hal ini menjadi problematik karena dalam kenyataannya, terdapat berbagai proses, dinamika dan diskursus lain yang muncul di kawasan ini dengan cara dan narasi mereka sendiri dalam upaya mengonstruksikan Asia Tenggara. ASEAN tetap akan menjadi fitur utama dalam memahami Asia Tenggara, namun demikian, kajian akademis mengenai Asia Tenggara hendaknya tidak hanya terpaku pada ASEAN sebagai satu-satunya fenomena kawasan.