Andi Angger Sutawijaya: Punya Tekad “Sekuat Baja” untuk Membuka Akses Pendidikan di Wilayah Tertinggal

Pria ini memiliki banyak keinginan, namun semuanya mengarah kepada satu tujuan besar yaitu untuk kesejahteraan anak-anak Indonesia di seluruh daerah, terutama daerah 3T (Tertinggal, Terluar dan Terdepan). Ia ingin membuka dan memudahkan akses pendidikan bagi semua.

Andi Angger Sutawijaya, penggagas Komunitas Filantropi Pendidikan ini sedang berusaha mewujudkan keinginannya agar tak sekadar menjadi sebuah mimpi. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang ia lakukan bersama para anggota dan relawan komunitasnya, yang memberikan pendidikan kepada anak-anak di daerah terpencil di Banten, Bogor, bahkan hingga Kalimantan dan Ambon.

“Kegiatan kami berfokus pada daerah terpencil di Banten dan Kabupaten Bogor. Sementara kalau di Kalimantan, kita ke Pulau Sebatik, sebuah pulau di sebelah timur laut Kalimantan, dan Pulau Rote Ndao atau yang lebih dikenal dengan pulau Roti di NTT,” ujar Angger.

Keliling Daerah Terpencil dan Membentuk Komunitas

Awalnya alumnus UIN Jakarta ini hanya punya keinginan terlibat pada suatu kegiatan yang memberi dampak bagi banyak orang, namun ia tak tahu harus ke mana. Bertepatan dengan itu, komunitas sedang menjadi tren. Banyak komunitas-komunitas besutan anak muda pun bermunculan. Hingga pada suatu saat ia mendapat kesempatan berkeliling ke daerah-daerah terpencil bersama Dompet Dhuafa, tempatnya bekerja.

“Perjalanan itu membuka mata saya mengenai realita kondisi pendidikan anak-anak di daerah terpencil. Hati saya terketuk, keinginan untuk membentuk sebuah komunitas pun kian membuncah. Bersama lima teman satu divisi pendidikan di Dompet Dhuafa pada 2011 akhirnya berdiri lah Komunitas Filantropi Pendidikan,” jelas Angger.

Setelah resmi dibentuk, Angger dan kawan-kawan mulai mengajak para anak muda untuk bergabung. Cara yang mereka nilai ampuh kala itu hingga saat ini adalah berkampanye melalui media sosial. Lewat cara ini mereka meyakinkan para generasi muda bangsa untuk ikut terjun bersama mereka sebagai relawan. Selain itu mereka juga  terjun langsung ke sekolah-sekolah lewat program School Social Responsibility atau SSR.

“Setelah orde baru berbagai jenis akses informasi mudah sekali didapat. Nah, hal itu yang menjadi salah satu pemicu timbulnya tren kerelawanan di kalangan anak muda,” katanya meyakinkan.

Program lainnya yang dimiliki komunitas ini meliputi Training Cerdas Sosial  yang ditujukan untuk anak-anak relawan dari sekolah di kota besar. Kemudia diikuti pada tahun 2014, komunitas ini membuat serangkaian program untuk pendidikan anak di perbatasan bertajuk “Gemari Buku”, “Satuasa”, “Ruang Inspirasi” dan “Cuti Berbagi”.

Komunitas Filantropi Pendidikan kemudian juga membuat gerakan di regional Jabodetabek dan telah menerbitkan dua buku elektronik berisi kegiatan relawan. Semua biaya operasional kegiatan ini berasal dari penggalangan dana dan iuran pribadi para anggota komunitas.

“Saat ini aku dan teman-teman masih fokus dengan pendidikan di kawasan Banten dan Kabupaten Bogor. Sementara untuk di luar Jawa, komunitas ini telah memfasilitasi pendidikan anak-anak di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara dan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur,” ungkap Angger.

 Pengalaman Seru Nyaris ditelan Ombak

Menyebut Pulau Rote, tak lupa juga pria kelahiran Jakarta ini menceritakan pengalaman menariknya bersama teman-teman seusai mengajar di Pulau Rote. Pengalaman ini tak terlupakan dan jadi pengalaman hidup paling berkesan buatnya.

“Kala itu saya naik kapal dalam kondisi cuaca yang tidak menyenangkan. Saya dan teman-teman ketakutan karena naik kapal nelayan berukuran kecil dan mudah sekali hancur bila dihantam ombak. Untungnya apa yang kami takutkan tak terjadi. Kapalnya selamat tak jadi ditelan ombak,” urainya seraya tergelak.

Masih diiringi tawa, ia menambahkan, “Ini jadi pengalaman yang mendebarkan sekaligus bikin kesan mendalam buatku. Justru dari situlah aku merasa senang dan ketagihan sama apa yang ku lakukan ini, ini bukan tantangan jadinya.”

Cita-cita untuk Orang Banyak

Pria satu anak ini merasa kini lebih mampu menahan ego setelah melakukan sederetan kegiatan bersama komunitasnya.

“Dulu saya masih egois, kerjanya mikirin diri sendiri. Saya yang dulu adalah orang dengan sebuah profesi yang profit oriented. Kalaupun memiliki cita-cita, ya itu untuk diri sendiri. Sekarang berbanding terbalik, saya malah sering berpikir apa yang bisa dilakukan untuk orang lain dan apakah itu berdampak,” jujur Angger.

Ia mengatakan untuk saat ini memang belum ada dampak besar yang terasa, namun anak-anak muda di desa-desa yang sudah “terjamah” aksi komunitasnya mulai menampakkan potensinya. Hal itu dapat dilihat dari bermunculannya kader lokal atau koresponden di daerah terpencil.

 Perspektif Angger tentang Pendidikan Indonesia

Ia sebenarnya prihatin terhadap akses pendidikan di Indonesia yang sebenarnya dipenuhi oleh anak-anak yang berpotensi. Ia menyoroti bagaimana sulitnya akses pendidikan perguruan tinggi bagi anak-anak di daerah terpencil, karena semua universitas berpusat di kota besar. Dan berdasar data yang dipaparkan Angger, hanya 9% dari jumlah penduduk Indonesia yang bisa mendapat akses ke perguruan tinggi dengan dekonsentrasi di kota-kota besar.

“Coba bayangkan, anak-anak di Sangihe Talaud –kepulauan yang berada di barat laut Sulawesi- harus ke mana kalau ingin menempuh pendidikan? Masa mereka harus ke Manado dulu?” tukasnya prihatin.

Melihat kondisi itu ia makin bertekad untuk membuat kampus keliling. Ia ingin suatu saat kampusnya ini berlayar dari satu pulau ke pulau lainnya untuk mengantarkan pendidikan yang juga layak kepada anak-anak di daerah.

Tak berhenti hingga disitu. Angger juga mengajak semua kalangan di negara ini, untuk bergerak bersama-sama ambil andil dalam membangun negara lewat pendidikan. Pasalnya pendidikan adalah kunci percepatan pembangunan suatu negara.

Angger menegaskan, “Bohong itu kalau ada yang bilang soal infrastruktur yang bagus, bohong juga kalau pembangunan itu dari uang! Pembangunan itu asalnya dari pendidikan! Tanpa pendidikan siapa yang mau bangun fasilitas umum, akses informasi dan teknologi di Indonesia? Semua bisa diwujudkan oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Masa kita mau mengharapkan anak muda Jepang, Amerika atau negara lain yang membangun Indonesia?”

 Berharap Seluruh Komunitas Pendidikan Bersatu

Angger juga memiliki keinginan untuk mengumpulkan semua komunitas pendidikan di Indonesia ke dalam sebuah forum.

“Komunitas pendidikan di Indonesia saat ini masih bergerak sendiri-sendiri. Dan melalui sebuah forum besar, sebenarnya kami bisa bergerak bersama. Misalnya ada komunitas yang punya sumber daya berlebih, bisa digunakan untuk membantu komunitas yang kekurangan sumber daya,” ujar Angger.

Sambil perlahan mewujudkan impiannya, hingga saat ini Angger masih tergabung dalam divisi pendidikan Dompet Dhuafa. Sarjana bidang agribisnis ini juga mengaku bahwa saat ini ia sangat menikmati kesibukannya bersama Komunitas Filantropi Pendidikan.

“Saya masih sangat bersemangat untuk terus membuka akses pendidikan di daerah-daerah 3T. Semoga niat baik ini diberi kelancaran dan semakin banyak hati yang terketuk untuk ikut bergerak bersama kami,” tutupnya.

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Andi Angger Sutawijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *