Teknologi komunikasi boleh canggih, tetapi orang ingin kembali merasakan sensasi saat mengirim atau menerima kartu pos. Ada rasa deg-degan dan kejutan saat kartu pos tiba. Card to Post’>Komunitas Card to Post menghidupkan kreativitas membuat dan saling berkirim kartu pos.
Stella Emada Bestio berkirim kartu pos kepada Rizki Ramadhan. Pada kartu tertulis: ”Kertas hitam yang ada di selipan kartu pos ini gak boleh dibuka sebelum tanggal 17.11.12. Oke?”
Kartu pos itu, kata Rizki (25), pencetus komunitas Card to Post, sampai dua hari sebelum tanggal 17, hari ulang tahun Card to Post. ”Akhirnya saya buka pas tanggal 17,” kata Rizki. Dia memperlihatkan kartu yang berisi ucapan selamat ulang tahun yang dibuat pop-up itu.
Kartu lain dibuat berantai. Kartu dikirim ke seseorang dengan kolase, cerita, atau gambar yang tidak selesai. Kemudian, si penerima menambahkan kolase, cerita atau gambar sesuai versinya, sebelum dikirim ke penerima lainnya hingga menghasilkan kartu pos yang utuh.
Rizki mengawali komunitas Card to Post (baca: kartu pos) pada tahun 2011 untuk mewadahi para penyuka kreasi kartu pos. Saat itu dia ingin memberi hadiah pada seseorang, tetapi bosan dengan pemberian hadiah berupa barang yang itu-itu saja.
”Saya berpikir, mengapa kalau memberi hadiah harus barang yang kita beli, kenapa bukan sesuatu yang kita buat sendiri? Saya merasa kebiasaan membuat sesuatu sendiri sudah tidak ada,” ujar Rizki, yang aktif sebagai pemilik blog di Jakarta.
Karena itu, dia memulai dengan mencetak foto karyanya dalam format kartu pos, kemudian dikirimkan ke teman. Kiriman itu ternyata mengesan pada si penerima. Kiriman itu bernilai karena ada usaha lebih yang dilakukan untuk memberi sesuatu pada seseorang.
Setelah itu, Rizki mengajak orang lain untuk saling berkirim kartu pos. Syaratnya, kartu pos harus buatan sendiri. Ajakan itu kemudian disebarkan melalui blog fotografi www.memangterlalu.blogspot.com. Kemudian, mereka menamainya Card to Post yang artinya kartu untuk dikirim.
Dari 10 kartu pos yang dikirimkan ke 10 orang pertama, Rizki ternyata mendapat respons luar biasa. Si penerima mengunggah kartu pos yang diterimanya di media sosial dan ditanggapi positif oleh banyak orang. Setelah itu, Rizki mulai membuat laman baru khusus untuk para peminat kartu pos di www.cardtopost.blogspot.com yang kini menjadi www.cardtopost.com. Aturan mainnya, setiap anggota dapat mengirim kartu pos pada siapa pun di laman itu, kemudian mengunggah kartu pos yang diterimanya di laman tersebut.
Pada satu bulan pertama ada 50 orang yang mendaftar di situs itu. Dari hari ke hari, jumlah anggota pun terus bertambah, yang hingga kini mencapai 1.200 orang. ”Saya betul-betul tidak menyangka karena saya mengawali semuanya sendirian,” ujarnya.
Sebanyak 1.200 orang itu tersebar di berbagai penjuru Nusantara dengan jumlah anggota terbanyak di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Komunitas ini pernah mengadakan kegiatan 1.000 kartu pos untuk Pak SBY dan terkumpul lebih dari 1.200 kartu pos dari berbagai daerah. Sayangnya, kartu pos yang terkumpul belum sempat dikirimkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena terkendala biaya.
Personal
Inti dari pengiriman kartu pos ala Card to Post, kata Rizki, adalah pada kartu yang dibuat sendiri. Bentuknya bisa beraneka ragam, ada yang berupa cetakan foto, kolase potongan koran dan majalah, gambar, komik, atau berbagai bentuk hastakarya. Setiap bulan Rizki paling sedikit menerima 10 kartu pos dari berbagai daerah di Indonesia. Dia pun selalu menyempatkan diri untuk membalas dengan kartu pos buatannya.
Herjuna Margana Putra (23), di Yogyakarta, sejak Juni 2013, mulai mengirimkan kartu pos yang didesain khusus mirip foto polaroid. Dia menamainya mail-a-roid. Dengan begitu, mail-a-roid menjadi identik dengan Juno. Setiap kartu pos juga memiliki foto yang berbeda. ”Dari 60 mail-a-roid yang saya kirimkan, tidak ada satu pun yang fotonya sama. Bahkan, ketika mail-a-roid tidak sampai, saya kirim lagi ke orang yang sama dengan desain yang berbeda,” ujar Juno.
Menurut Juno, keistimewaan saling berkirim kartu pos adalah sifatnya yang sangat personal. Orang dari berbagai daerah memiliki karakter dan cerita yang berbeda. Selain itu, kartu pos dapat disimpan untuk kenangan dan dipajang.
Anggota Card to Post, Fertina Nurisa Mitra (24), merasakan sensasi saat berkirim atau menerima kartu pos: berdebar-debar atau deg-degan apakah kartu sampai di tangan si penerima atau tidak. Kerap terjadi, kartu pos yang dikirimkannya tak berbalas.
”Saya tidak tahu pasti, apakah kartu posnya tidak sampai atau yang menerima belum sempat membalas. Tapi, beberapa kali saya mengirim memang tidak sampai,” ujarnya.
Rizki mengatakan, kartu pos yang tidak sampai, hilang, atau rusak merupakan salah satu sensasi yang didapat dalam proses pengiriman kartu pos. Masalahnya, kartu pos yang dikirim dengan prangko, tidak ada status pengirimannya sehingga tidak bisa dicek sudah sampai atau belum. Saking seringnya kartu pos hilang, Rizki sampai menyewa kotak pos atau PO BOX untuk menampung setiap kiriman kartu pos yang ditujukan kepadanya. Itu pun masih saja ada kartu pos yang tidak sampai.
Untuk mendorong agar sampai ke tujuan, di beberapa kartu pos bahkan dituliskan pesan untuk Pak Pos agar bersemangat mengantar kartu pos. Mereka juga menulis bahwa kartu pos itu penting sehingga kalau alamat yang dituju tidak ditemukan, Pak Pos diminta untuk menghubungi nomor telepon atau mengirimkan ke alamat pengirim.
Meski banyak orang sudah meninggalkan tradisi berkirim surat atau berkorespondensi, para anggota komunitas Card to Post tetap percaya tradisi itu tak akan mati. ”Sekarang saja banyak orang tua yang merasa kangen, ingin bernostalgia dengan berkirim kartu pos. Pasti selalu ada orang yang setia untuk berkirim surat karena mereka merasakan sentuhan personal di surat atau kartu pos yang dikirim,” tutur Rizki.
Sumber: Wartakota
artikel anda sangat membantu
poin4d
poin4d
poin4d
poin4d