Nasi dan lauk pauk merupakan makanan sehari-hari. Namun, masih ada orang yang kesulitan untuk sekedar menyantap makanan pokok bangsa yang pernah menyandang status surplus beras ini.
Komunitas Berbagi Nasi yang dimotori Tawakal Ade Thabrani G, 32, dan lima orang teman lainnya tergerak untuk membagikan nasi bungkus pada kalangan yang tidak mampu. Bukan pengemis, namun kalangan yang tidak memiliki tempat tinggal.
Mereka tidur beratapkan langit dan beralaskan bumi. Di tengah gemerlap kota, mereka menelusup mencari ruang-ruang kosong sekedar merebahkan badan untuk melepaskan lelah.
Nasi menjadi obyek pangan untuk dibagi-bagikan kepada kalagan tidak mampu. Tidak ada alasan khusus, nasi merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. “Kalau perut terisi, pikiran menjadi lebih tenang. Impian tidak akan terwujud kalau perut kosong. Nah, kita mengenyangkan kebutuhan yang paling dasar,” ujar laki-laki yang biasa disapa Tata ini ketika ditemui di salah satu rumah sakit di Bekasi ketika tengah menunggui istrinya usai melahirkan, Selasa (21/6).
Rasa lapar yang kerap melanda di malam hari telah mengetuk hati laki-laki yang baru memiliki satu momongan ini untuk membagikan satu bungkus nasi kepada kalangan yang kurang mampu.
Dari awal berdirinya komunitas, sekitar tiga tahun yang lalu, tidak pernah terbentuk struktur organisasi yang mapan. Semua anggota memiliki kedudukan yang sama, mereka adalah pejuang nasi. Istilah yang digunakan untuk anggota komunitas.
Namun tanpa adanya struktur organisasi, komunitas justru makin berkembang sampai saat ini sudah terdapat di 60 kota yang ada di Indonesia. “Yang penting, mereka memiliki niat untuk berbagi sambil membawa nasi sesuai kesanggupan. Kalau tidak sanggup nggak apa apa, kita membutuhkan tenaga untuk distribusi,” ujar Tata tentang syarat keikutsertaan anggota.
Untuk distribusi dilakukan malam hari mendekati tengah malam. “Supaya tepat sasaran. Kita tidak pernah memberikan kepada pengemis,” ujar dia lebih lanjut. Tata mengatakan tidak melakukan pemetaan secara khusus. Nuranilah yang menggerakkan untuk memberikan satu bungkus nasi kepada sasaran yang tepat.
Meski sumbangan nasi bisa dititipkan atau memberikan bantuan berupa uang untuk membeli nasi, Tata menekankan donatur untuk memberikan sendiri kapada kalangan yang tidak mampu. “Karena, nilainya justru saat kita memberikan bantuan,” ujar dia. Mereka bisa melihat raut bahagia dari orang-orang tidak mampu tersebut. Selain itu, donatur akan lebih bersyukur dengan kondisi dirinya. Pernah, ada anggota yang mengalami broken home karena perceraian orang tuanya. Dia menyalahkan orang tuanya. Saat ikut berbagi nasi, anggota tersebut bertemu dengan sepasang suami istri renta yang saling menjaga.
Dalam aksi berbagi nasi, mereka berinteraksi langsung. Alhasil, dia merasa lebih bisa mensyukuri kondisi kehidupannya dibandingkan pasangan renta yang lebih memiliki keterbatasan. Dalam setiap aksinya, Tata mengatakan bahwa tidak ada dari target sasaran yang dengan sengaja meminta belas kasihan untuk diberi nasi. “Kalau minta, artinya mereka sudah sungguh sangat terpaksa,” ujar dia. Permintaan pertolongan biasanya berupa pengobatan karena suatu penyakit, seperti diabetes maupun tetanus.
Tata tidak memungkiri bahwa selama membagikan nasi ia kerap dilanda rasa lelah dan capek. Belum lagi, anggota komunitas datang dan pergi. Istri dan bapaknya sampai protes karena pria yang tengah menjejaki untuk berwirausaha ini pulang terlalu malam dan terlalu sibuk.
Bahkan, ia sempat down ketika upayanya mulai tidak mendapatkan simpati. Namun, ia mempercayai bahwa kebaikan yang dilakukan akan didekatkan dengan kebaikan. Terbukti sepanjang hidupnya, ia tidak pernah merasa kekurangan. Bahkan, kelahiran anaknya dianggap sebagai esensi kegiatan sosialnya yang dilakukan selama ini. Kegiatan tersebut justru menjadi pecutan agar dia lebih hati-hati menjalani hidup dan rendah hati.
Suatu saat, ia dan temantemannya berharap kegiatan berbagi nasi ini dapat bubar. Maksudnya, kalau kegiatan bubar berarti tidak ada lagi orang yang perlu disantuni dengan sebungkus nasi. Karena, masyarakatnya sudah sejahtera.
Seperti yang terjadi di Bali, Komunitas Berbagi Nasi di Bali bubar karena tidak ada lagi masyarakat yang perlu disantuni dengan nasi bungkus. “Seminim-minimnya pemulung di sana (Bali) sudah menggunakan sepeda motor sehingga tidak ada lagi yang perlu dibagi nasi,” ujar dia.
Satu Bungkus dan Harapan Hidup
Ada rasa semangat dan senang yang mendadak muncul ketika membagikan nasi kepada orang kurang mampu. Pancaran sinar penuh keceriaan dari para penerima nasi bungkus membawa kesejukan dibatin. Rasa terima kasih yang terucap berulangkali bagaikan penghormatan tiada banding.
Karena, alasan tersebut membagi nasi selalu menggugah kerinduan. Hal tersebutlah yang dialami Harsha Vardhana, 28, sales marketing sebuah perusahaan industri kimia. Awalnya, ia ikut teman untuk membagikan nasi bungkus pada 2013. Untuk praktisnya, Caca memilih membeli nasi di warung untuk dibagi-bagikan.
Membagikan nasi menjelang tengah malam membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Tak memungkiri, Caca kerap didera rasa lelah ketika berkeliling membagikan nasi di malam hari. Namun rasa lelahnya langsung sirna, melihat teman-temannya bersemangat membagi nasi sampai jam dua pagi.
Laki-laki yang semula berkantor dibilangan Sarinah, Jakarta Pusat dapat membagikan nasi hampir setiap minggu. Namun, sejak kantornya dipindahkan di daerah Simatupang, Jakarta Selatan, ia hanya ikut mambagi nasi sekitar sebulan sekali.
Beberapa kali ikut kegiatan, ia mulai dapat merasakan nikmatnya berbagi nasi bungkus. “Bagi nasi itu untuk ngobrol dengan mereka, seperti tentang keluarganya,” ujar laki-laki yang tidak lama lagi akan melepas masa lajangnya. Dari obrolan tersebut, ia menyadari bahwa kehidupannya lebih beruntung ketimbang orang-orang yang hidupnya dijalanan.
Seperti halnya Caca, Tata mengatakan bahwa dirinya selalu rindu ngobrol dengan orang-orang kurang mampu yang hidup di jalanan. Dari cerita tersebutlah, ia mengetahui kehidupan yang berbeda dengan kehidupannya sehari-hari. “Di luar sana, ada bapak yang diusir oleh anaknya setelah menikah.
Ada anak yang dipekerjakan sebagai PSK (pekerja seks komersial) oleh ibunya, macam-macam ceritanya,” ujar dia. Ada kebahagian yang diperoleh setiap membagikan nasi. Kebahagiaan yang tidak terbatas dengan uang maupun materi lainnya. “Saya perhatiin, orang-orang tersebut putus asa. Kita datang hanya mengedrop nasi sudah dapat menghilngkan keputusaannya, tertawa sebentar,” ujar dia.
Tanpa disadari, kegembiraan orang lain dapat menular kepada orang-orang disekitarnya. Satu bungkus nasi tidak sekedar mengganjal perut melainkan satu bungkus harapan hidup.
Menurut Tawakal Ade Thabrani G, 32, pejuang nasi tidak pernah menyangka kegiatannya berbagi nasi bungkus akan membuahkan sebuah rumah singgah dan mobil. “Kejutankejutan” yang diperoleh selama melakukan aksi sosial makin meyakini bahwa hidup telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Semakin menyelami kegiatan sosial, Tawakal Ade Thabrani G makin menyakini bahwa kekuatan Tuhan memiliki andil terhadap kegiatan yang dilakukan selama ini. Berawal dari kegiatan nasi bungkus, rasa kemanusiaannya makin terasah.
Suatu hari saat mengendarai sepeda motor, ia bertemu dengan orang lumpuh hampir menjelang ajal. Di sekitar lokasi, tidak ada mobil maupun taksi yang mau membawa orang tersebut. “Kendaraan dan taksi tidak ada yang mau berhenti, kebanyakan mereka merasa takut,” ujar dia.
Kemudian ada satu taksi yang mau membawa korban. Asalkan dengan catatan tidak ada darah yang tercecer di dalam taksinya. Tanpa berpikir panjang, ia menggendong orang lumpuh ke dalam taksi dan membawanya ke rumah sakit. Sayang, nyawa korban tidak berhasil diselamatkan.
Beberapa waktu setelah kejadian berselang, seorang donatur menawarkan uang sebanyak 20 juta untuk membeli mobil. Mobil pick up bekas seharga 75 juta rupiah berhasil dibayar lunas melalui angsuran. Uang sebanyak 20 juta digunakan sebagai uang muka, sisanya mereka mengangsur bersama-sama.
“Kita mengangsur dengan cara patungan menggunakan uang pribadi, besaran uangnya tergantung keadaan keuangan masing-masing, bisa 100 ribu bahkan 20 ribu,” ujar dia. Angsuran senilai 2,702.700 rupiah per bulan bisa lunas selama dua tahun tanpa tunggakan angsuran. “Dari situ, kita mempercayai bahwa The Power of Giving, ada campur tangan Tuhan,” ujar dia.
Berhasil mengansur mobil, dihadapan teman-temannya, Tata sempat nyletuk untuk memiliki rumah. Siapa sangka, cletukan yang awalnya sebagai guyonan menjadi kenyataan. Ada donatur yang menawarkan rumah. “Alhamdulillah, kurang lebih dua minggu yang lalu ada yang menawari rumah, ini saya sampai merinding,” ujar dia dengan nada sedikit menggigil.
Ia dan teman-temannya sampai perlu diskusi untuk menerima pemberian dari donatur yang tergolong istimewa tersebut. Pasalnya, donatur menginginkan rumah singgahnya menjadi panti asuhan. “Nah, masing-masing dari kita kuat nggak menerima amat ini karena membawa orang,” ujar dia.
Tata dan anggota komunitas lainnya beranggapan tawaran tersebut sebagai tantangan.”Kayaknya Tuhan ngasih tantangan untuk kami, seolah-olah belum boleh berhenti dulu,” ujar dia memaknai membanjirnya donatur yang memberikan bantuan.
Selama tiga tahun mengelola komunitas, Tata tidak pernah dapat merinci asal para donatur, sumbangan nasi maupun sumbangan uang. Seolaholah, mereka datang tiada henti bagaikan air bah. Di sisi lain, ia makin menyakini ada campur tangan Tuhan dalam setiap tindakan manusia.
Sumber: Koran Jakarta