KontraS: Jumlah Korban dan Perubahan Pola Kekerasan Meningkat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan setiap tahunnya telah terjadi peningkatan jumlah korban dan perubahan pola kekerasan yang terjadi di Indonesia. KontraS menilai institusi Kepolisian merupakan pihak yang paling sering melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi.

Koordinator KontraS Haris Azhar mengatakan, KontraS mencatat selama setahun terakhir setidaknya terdapat 134 peristiwa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Peristiwa paling banyak terjadi di wilayah Provinsi Sumatra Utara dengan 19 peristiwa, Jawa Barat 13 peristiwa, Jawa Tengah 11 peristiwa, Sulawesi Selatan, dan Papua masing-masing 8 peristiwa.

“Jika dibandingkan dengan tahun lalu, angka ini mengalami peningkatan signifikan,” ujar Haris dalam siaran pers Peringatan Hari Anti Penyiksaan Sedunia yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (25/6).
Menurutnya, peningkatan praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi terjadi akibat minimnya respons dan kemauan Polri untuk menyelesaikan kasus yang melibatkan kedua hal tersebut. Haris menyebut, penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi kerap terjadi di lokasi-lokasi yang minim mendapat pengawasan, seperti di sel kepolisian, lembaga pemasyarakatan, dan rumah tahanan.

Haris menyampaikan, berdasarkan catatan tahunan, Polri telah melakuan telah melakukan 91 tindakan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya. Disusul oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebanyak 24 kasus dan petugas lapas dengan 19 kasus.

“Dari seluruh kasus, KontraS mencatat terdapat 260 orang menjadi korban penyiksaan dan sebagian besar korbannya berusia antara 15 – 25 tahun,” ujarnya.

Haris melanjutkan, KontraS menemukan ada beberapa pola umum yang dilakukan pelaku atau institusi pelaku untuk menutupi tindakan penyiksaan dan tidak manusiawinya yaitu dengan mengintimidasi dan menyuap keluarga korban agar tidak melapor ke pihak lain, pembunuhan karakter dengan menyerang balik korbannya.

“Pelaku penyiksaan juga mempersulit upaya pengumpulan bukti seperti menghambat otopsi, mengintimidasi saksi, menyalahkan atau menciptakan rekam jejak penyakit korban,” ujar Haris.

Rekomendasi Penyelesaian Masalah

KontraS mendesak pemerintah untuk menghentikan praktik penyiksaan di seluruh wilayah, termasuk di wilayah yang memiliki konflik seperti di Papua, Poso, dan Maluku. Selain itu, Negara diminta untuk meningkatkan kapasitas pemahaman Kepolisian dan TNI dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya.

Haris menyebut, untuk meningkatkan pemahaman, pemerintah dituntut untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan, serta merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

“Pemerintah harus mempercepat proses pembahasan RUU Perubahan KUHP dan RUU Tindak Pidana Penyiksaan menjadi sebuah kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum,” ujar Haris.

Selain itu, Haris mengatakan, pemerintah untuk meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, serta Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional. Menurut KontraS, ketiga aturan itu merupakan rujukan untuk melihat akuntabilitas atas kejahatan penyiksaan yang masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Perlindungan kepada saksi dan korban serta pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar instrumen hukum HAM Internasional,” ujar Haris.

Sumber: CNN Indonesia

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *