Kontras Paparkan Harapan Masyarakat untuk Polri di HUT ke-70

Bertepatan Hari Bhayangkara ke-70 yang jatuh pada 1 Juli 2016, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memaparkan sejumlah catatan kinerja kepolisian selama setahun terakhir yang layak untuk disampaikan kepada publik.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan bahwa catatan publik ini sebagai rapor yang patut diberikan, mengingat Polri juga merupakan bagian dari publik.

Oleh karena itu, bentuk kolaborasi, komunikasi dan masukan publik merupakan hal yang wajar diberikan Kontras kepada Polri.

“Polri hadir tidak hanya sebagai lembaga keamanan negara yang bertanggung jawab penuh kepada agenda kebijakan keamanan nasional di Indonesia, tetapi juga bagian dari publik,” ujar Haris saat dihubungi, Jumat (1/7/2016).

Menjelang HUT Polri, Kontras membuat survei ringkas melalui Facebook dan Twitter guna mendapatkan pandangan dan masukan publik atas kinerja kepolisian.

Melalui akun Twitter @KontraS, terdapat 69 persen akun memilih “Tidak Membantu” dengan 289 akun pemilih, 14 persen akun memilih “Membantu” dengan 59 akun pemilih, dan sisanya 17 persen memilih “Tidak Tahu”.

Dari survei tersebut menunjukkan kesenjangan yang cukup jauh antara 69 persen dengan 14 persem menunjukkan bahwa masih banyak netizen yang berpikir kinerja polisi belum cukup optimal dan tidak membantu.

Sementara dari survei yang dilakukan melalui Facebook, Kontras mengajukan pertanyaan terkait kesan publik terhadap institusi Polri.

Setidaknya, menurut Haris, Kontras menemukan kecenderungan respons dan jawaban publik di Facebook. Poin yang paling banyak muncul adalah desakan untuk menegakkan keadilan yang non-diskriminatif (disampaikan sebanyak 5 kali).

Disusul dengan pernyataan harapan positif akan adanya perubahan di tubuh Polri, adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepolisian sekaligus menuntut Polri berbenah diri untuk menjadi transparan, profesional dan tidak arogan.

“Survei sederhana ini menarik untuk dilakukan dan disimak. Mengingat dinamika kebijakan banyak didiskusikan publik di ruang-ruang privat yang beririsan dengan media sosial mereka. Harapan publik untuk membenahi institusi sekaligus tindak tanduk aparatnya,” ucap Haris.

Kekerasan oleh kepolisian

Haris mengatakan, harapan dan ekspresi publik tersebut juga selaras dengan hasil pemantauan dan catatan advokasi Kontras.

Menurut catatan Kontras, sepanjang setahun terakhir (1 Juli 2015 – 1 Juli 2016), Polri telah terlibat dalam sejumlah agenda besar kebijakan keamanan.

Polri patut diapresiasi dalam mendorong fungsi penegakan hukum di sektor pembakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Namun, banyak dari agenda keamanan Polri adalah sisa dan pengulangan dari tahun lalu. Misalnya, ketegangan Polri dengan KPK, termasuk praktik kriminalisasi Novel Baswedan di dalamnya.

Haris menuturkan, kasus-kasus kriminalisasi masih menjadi momok Polri. Imbasnya adalah banyak orang ditangkap, ditahan, melalui proses peradilan yang tidak adil dan memihak (unfair trial) akibat tafsir penegakan hukum yang cenderung eksesif.

Selain itu, Polri juga masih terlibat dalam banyak praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya di Indonesia.

Belum lagi praktik penyiksaan yang dikaitkan dengan penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus 88 sebagaimana yang mencuat pada kasus Siyono.

Menurut Haris, penyiksaan masih menjadi alat aparat kepolisian untuk mendapatkan bukti dan pengakuan instan dan nampaknya telah terlembaga menjadi kultur para penyidik Polri.

“Tidak heran dalam Laporan Hari Anti-Penyiksaan Sedunia yang Kontras luncurkan pada 25 Juni lalu, secara tegas kami menyatakan bahwa penyiksaan merusak hukum,” tutur Haris.

Dalam laporan tersebut setidaknya Kontras mencatat ada 2.558 warga Indonesia ditangkap dan ditahan sewenang-wenang, 742 warga Indonesia menderita luka-luka, 156 warga Indonesia tewas akibat tindak kekerasan aparat kepolisian.

Aparat polisi juga masih memonopoli tindakan penganiayaan (224 tindakan), penembakan (185 tindakan), penangkapan sewenang-wenang (101 tindakan), penyiksaan (91 tindakan), intimidasi (67 tindakan), pembiaran kekerasan (42 tindakan) dan pembubaran acara-acara warga (25 tindakan).

Dominasi wilayah kekerasan dan tindak sewenang-wenang kepolisian juga terpotret paling banyak terjadi di Papua (80 peristiwa), Sulawesi Selatan (59 peristiwa), Sumatera Utara (53 peristiwa), Jawa Barat (51 peristiwa) dan Riau (48 peristiwa).

Angka-angka temuan Kontras di atas yang dikombinasikan dengan opini publik yang dikumpulkan melalui media sosial menunjukkan bahwa figur Komisaris Jenderal Tito Karnavian harus mampu menjawab dan berbenah.

Ini tidak hanya tantangan Kontras, namun juga harapan publik yang masih memandang Polri belum banyak membantu agenda penegakan hukum dan keamanan di Indonesia.

Sumber: Kompas.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *