Sudah lebih dari empat tahun sebagian besar masyarakat adat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa. Berbagai aksi, baik di Bali bahkan Jakarta, dilakukan masyarakat agar reklamasi yang akan digarap PT. Tirta Wahana Bali Internasional dihentikan.
Mulai dari aksi long march ribuan warga desa adat Legian Bali, 56 Surat untuk Presiden Jokowi, hingga petisi yang ditujukan kepada Presiden bertajuk “Pak @Jokowi, Segera Batalkan Perpres 51 Tahun 2014” yang telah ditandatangani oleh hampir 40 ribu orang.
Penolakan ini didasari keinganan masyarakat adat Bali agar pemerintah bukan hanya tidak lagi memperpanjang izin lokasi reklamasi kepada pengembang yang akan berakhir sekitar Agustus mendatang, tapi juga mendorong presiden untuk mencabut Peraturan Presiden No 51/Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita).
Dalam Perpres tersebut, tercantum adanya perubahan alih fungsi kawasan Teluk Benoa yang semula dalam Perpres No 45/Tahun 2011 merupakan kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi zona pemanfaatan terbatas.
Sontak, perubahan alih fungsi kawasan lindung yang luasnya hampir 3 persen dari Pulau Bali atau sekitar 1.113 hektar ini mendapat penolakan keras dari masyarakat adat sekitar.
Penolakan reklamasi tak hanya sebatas karena adanya perubahan alih fungsi kawasan tapi karena adanya penyimpangan, kerusakan alam dan dampak sosial.
Menurut Koordinator Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa I Wayan Swarsa, reklamasi Teluk Benoa merupakan bentuk ketidakpatutan pemerintah terhadap adat Bali.
Wayan Swarsa menyatakan ketidakpatutan ini karena pembangunan pulau reklamasi berada pada salah satu situs atau lokasi yang disucikan oleh umat Hindu di Bali.
“Jelas, ini (reklamasi) mencederai keyakinan adat Bali. Karena reklamasi Teluk Benoa tidak melihat kepentingan kami sebagai masyarakat adat Bali yang menganggap tempat itu sebagai tempat suci,” kata Wayan Warsa kepada CNNIndonesia.com pada Kamis (14/7).
Kawasan Teluk Benoa, tutur Wayan Swarsa termasuk dalam kawasan yang disucikan. Sudah beratus bahkan beribu tahun lamanya leluhur disana mensucikan Teluk Benoa. Terbukti dengan adanya sekitar 70 titik suci seperti Pura di areal tersebut.
Bagi masyarakat adat Bali, kawasan seperti gunung, danau, pantai, dan laut memiliki nilai religi yang dijaga kesuciannya. Mayoritas masyarakat Bali menganut agama Hindu yang memang dekat dengan alam dan semesta.
Karena itu, Wayan Warsa menegaskan, rencana pemerintah untuk membangun pulau buatan di Teluk Benoa merupakan tindakan yang mengesampingkan kepentingan masyarakat adat Bali terkait tempat suci.
Bahkan secara teknis, pelestarian kawasan suci juga terjabarkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No 16/Tahun 2009 tentang Panduan Rencana Tata Ruang Wilayah Bali hingga tahun 2029 mendatang.
“Karena itu, pembangunan yang mempengaruhi tempat suci tentu akan menimbulkan respon, khususnya dari masyarakat Bali,” kata Wayan Warsa.
300 Ribu Warga Bali Menolak
Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) Wayan Gendo Suardana mendesak Pemerintah Joko Widodo untuk segera membatalkan proyek reklamasi Teluk Benoa di pesisir selatan Pulau Bali.
Menurut Wayan Gendo, sejauh ini sudah ada sekitar 38 desa adat di seluruh Bali, tergabung dalam Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, menolak reklamasi Teluk Benoa.
Itu berarti, tutur Wayan Gendo, sekitar 83 ribu keluarga yang tergabung dalam Pasubayan Desa Adat Bali atau setara dengan 300 ribu jiwa telah menolak reklamasi Teluk Benoa.
Karena itu, menurutnya, maraknya penolakan dari masyarakat ini bisa menjadi pertimbangan pemerintah khususnya presiden untuk melakukan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, yakni batalkan reklamasi. Menurut Direktur Indonesian Resources Studies Marwan Batubara, peliknya urusan reklamasi yang tak jarang menyeret dampak sosial itu terjadi karena pengambilan keputusan oleh penyelenggara negara belum sepenuhnya sesuai dengan kaidah perundang-undangan yang ada.
Mestinya, tutur Marwan, setiap keputusan pembangunan reklamasi selain mengikuti perundang-undangan yang ada, juga harus melibatkakan stakeholder terkait, khususnya yang terdampak jika proyek ini berjalan, yaitu masyarakat pesisir setempat.
“Pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan reklamasi itu harus nyata dan konkret. Bukan semata mendengarkan saja, tapi juga merasakan perubahan yang mereka alami ketika ini (reklamasi) jalan,” ujar Marwan melalui sambungan telepon.
Jika dilihat dari fungsinya, Marwan menyatakan, kepentingan reklamasi masih berbasis bisnis, bukan kepentingan publik. Dimana pembangunan pulau buatan ditujukan bagi pengembang dan investor asing sebagai lahan properti yang diperuntukan bagi kaum menengah ke atas.
“Sejauh ini, investor dominannya berkolusi dengan pengambil keputusan. Akhirnya keputusan yang diambil terkait reklamasi menuai protes dari masyarakat kan. Tidak aneh jadinya,” tambah Marwan.
Respon Pemerintah
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Bramantya Poerwadi Satyamurti, secara teknis lapangan, proyek reklamasi Teluk Benoa memang belum dilaksanakan. Belum ada pengerukan atau penimbunan tanah di sekitar Teluk Benoa karena memang belum ada izin pelaksanaan yang turun dari kementeriannya kepada pengembang.
Sejauh ini, tutur Bramantya, proyek reklamasi Teluk Benoa masih dikaji pemenuhan persyaratan dan izin-izinnya oleh kementerian terkait, termasuk kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
“Pengembang kalau mau reklamasi harus dapat izin pelaksanaan dari kementerian. Izin pelaksanaan belum ada kok, yang ada baru izin lokasi. Izin itu pun berakhir akhir Agustus nanti,” kata Bramantya.
Menurutnya, perjalanan proyek reklamasi Teluk Benoa untuk bisa diimplementasikan masih butuh waktu panjang. Izin lokasi yang diberikan KKP kepada pengembang, tutur Bramantya, merupakan izin prinsip/dasar agar pengembang bisa melakukan kajian lingkungan/Amdal yang pada akhirnya, izin Amdal tersebut diputuskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Setelah ada Amdal, kajiannya akan kembali lagi diusulkan kepada KKP untuk kami putuskan beri izin pelaksanaan. Izin lokasi itu belum selesai. Jika Amdalnya tidak dikeluarkan KLHK ya kami tidak keluarkan izin pelaksanaan. Reklamasi tidak bisa jalan,” katanya.
Sebagai bentuk respon kepada masyarakat adat Bali yang menolak reklamasi, Bramantya menyatakan pihaknya masih menunggu hasil kajian lingkungan dan koordinasi dengan kementerian lainnya yang terkait.
Bramantya menyatakan, pihaknya berusaha mengakomodir aspirasi masyarakat khususnya ForBALI untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan proyek reklamasi ini.
Lebih lanjut, Bramantya menyatakan, pihaknya masih tetap memproses perkara reklamasi ini sesuai dengan Perpres No 51/Tahun 2014. Yang artinya, jika perusahaan pengembang dapat memenuhi persyaratan dalam pengajuan izin lokasi, tidak menutup kemungkinan pihak KKP akan memberikan perpanjangan izin lokasi tersebut.
“Kami memang belum perpanjang izin lokasi, maka itu kami panggil seluruh pihak yang berkepentingan termaauk ForBALI. Kami akan diskusikan dengan kementerian terkait sebelum memutuskan jalan atau tidaknya proyek ini,” kata Bramantya.
Sumber: CNN Indonesia