Era modern menyuguhkan kecepatan informasi. Beragam peristiwa dapat kita akses dengan cepat, termasuk siaran dalam bentuk audio visual melalui televisi maupun video. Tapi sebagian kalangan tidak dapat menikmati suguhan informasi dan hiburan dalam bentuk audio visual itu lantaran menyandang tunarungu.
Di Solo ada sebuah komunitas yang selama ini menaungi para penyandang tunarungu. Komunitas ini bernama Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Solo.
Gerkatin Solo bukan komunitas baru di Kota Bengawan. Berdiri sejak 18 Februari 1982, Gerkatin Solo kini tercatat memiliki puluhan anggota yang semuanya berdomisili di eks Karesidenan Surakarta.
“Gerkatin merupakan komunitas bagi para penyandang tunarungu. Kami di sini berupaya untuk saling men-support satu sama lain, sehingga kami bisa saling bantu,” ujar Ketua Gerkatin Solo Aprilian Bima Purnanta belum lama ini.
Bima mengaku bergabung dengan Gerkatin sejak tahun 2010. Saat itu ia masih duduk di bangku SMP. “Saya mengalami gangguan pendengaran sejak lahir. Kalau teman-teman yang lain ada yang karena sakit demam tinggi, kecelakaan, dan salah minum obat. Tapi ada juga yang sejak lahir,” katanya
Menurut Bima, penyandang tunarungu telah mengalami diskriminasi dalam akses informasi. Terutama informasi yang disuguhkan melalui layar televisi. Selain itu, pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, dan penyediaan fasilitas umum belum ramah terhadap penyandang tunarungu.
Beberapa kali Gerkatin mengadakan kegiatan sosialisasi tentang penggunaan bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) di CFD Solo. Gerkatin mengajak masyarakat untuk belajar menggunakan bahasa isyarat sederhana. Sebab sering terjadi miss komunikasi lantaran tidak memahami apa yang disampaikan penyandang tunarungu saat berkomunikasi. “Setidaknya langkah ini dapat membekali masyarakat untuk dapat berkomunikasi dengan penyandang tunarungu seperti kami,” jelas Bima.
Lanjut Bima, di tingkat nasional Gerkatin berupaya meminta bantuan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar mengimbau kepada seluruh stasiun televisi untuk memberikan layanan bahasa isyarat di setiap acara televisi.
Sayangnya, saat ini satu-satunya stasiun televisi yang menampilkan bahasa isyarat hanya TVRI, tapi itu pun hanya pada acara berita. Padahal pemerintah telah memberikan jaminan dengan terbitnya UU No 8 Tahun 2016 pasal 24 tentang hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi.
“Kami ingin sekali bisa menikmati acara televisi seperti teman-teman yang normal. Bisa nonton berita, sinetron, serta pertandingan olahraga. Undang-undangnya sudah ada, tapi praktiknya belum,” ujar Bima.
Bima berharap anggota Gerkatin terus bertambah sehingga semakin banyak yang bisa tertolong seperti dirinya. Selain itu, ia juga berharap pemerintah bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanah undang-undang.
Organisasi Relawan
Bima menambahkan, Gerkatin juga banyak dibantu oleh komunitas relawan yang tergabung dalam Deaf Voluntering Organization (DVO) atau organisasi sukarelawan khusus tunarungu. Volunteer DVO membantu para penyandang tunarungu dalam menggunakan bahasa tutur dan juga bahasa lisan yang baik dan benar, terutama bahasa Indonesia.
Banyak para penyandang tunarungu yang masih belum bagus dalam penguasaan bahasa Indonesia baku sesuai EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Kegiatan kelas bahasa Indonesia diadakan tiap Jumat khusus bagi anggota Gerkatin yang difasilitasi oleh DVO.
“Saya dan teman-teman merasa terbantu dengan keberadaan DVO. Mereka membantu kami memahami bahasa Indonesia dengan baik. Alhamdulillah, kini saya dan teman-teman sudah mulai baik dalam penguasaan EYD-nya,” jelas Bima.
Bima kini sedang menempuh pendidikan di UNS jurusan Seni Murni FSRD. Sebagai mahasiswa, Bima sangat sadar betapa masih banyak hal yang harus diperjuangkan untuk Gerkatin dan penyandang tunarungu yang lain di Indonesia.
Sumber: Joglo Semar