DSLR Cinematography Indonesia; Sebarkan Pengetahuan Sinematografi Pada Khalayak Luas

Bicara komunitas film di Indonesia, tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Namun jika banyak komunitas yang bermunculan lebih kepada yang mengangkat isu seni film seperti penulisan dan penyutradaraan, komunitas DSLR Cinematography Indonesia (DCI) hadir lebih kepada membahas teknis peralatan, editing, walau tidak terlarang untuk juga membicarakan apa saja terkait dunia sinematografi.

 

Berdiri sejak 2010, DCI dipelopori oleh beberapa praktisi sinematografi seperti Audy Erel dan Indra Yogiswara. Berawal dari sebuah thread Canon 550D di Kaskus yang ternyata mendapat banyak respon, sehingga kemudian dibentuklah grup baru dengan cakupan lebih umum yaitu videografi dan sinematografi.

DCI terus bertahan hingga kini. Setidaknya jika melihat aktivitas di dalam group Facebook yang terus interaktif setiap harinya. “Kita tidak pernah ada istilah vakum, karena kalau saya tidak buka group dalam setengah hari saja, sudah bisa ada masuk sekitar 20-30 notifikasi. Belum lagi notifikasi jika saya meninggalkan comment di sebuah thread,” ujar Benny Kadarhariarto, salah satu pegiat komunitas yang sering disebut “CEO” .

Komunitas seperti DCI rasanya tetap relevan dengan perkembangan zaman, sehingga tak heran jika para pengikutnya terus antusias bergabung di dalamnya. Menurut Benny, tuntutan industri sinematografi saat ini bukan saja dari sisi pengetahuan artisitik, juga teknologi.

“Sekarang kalau kita meleng sedikit, kamera baru sudah meluncur di pasaran,” ujar Benny memberi perumpamaan. Sementara dengan jumlah member sekitar 40 ribu orang, grup seperti DCI akan sangat bermanfaat untuk menambah wawasan diri.

“Semua gosip baru tentang teknologi bisa jadi semua dibicarakan di grup. Bahkan saat Blackmagic Pocket Cinema Camera diskon hingga 50 persen, kita sudah tahu terlebih dulu di grup dibandingkan reseller resminya sendiri,” ungkap Benny sambil tersenyum.

 

Bergabung dengan DCI juga tidak semata menambah ilmu, juga kesempatan untuk mendapatkan berbagai kritik membangun dari karya yang sedang dibuat. Tak sedikit memang yang melempar hasil karyanya untuk kemudian dikritisi beramai-ramai.

“Anehnya, orang justru ingin “dimaki-maki” kalau sedang menunjukkan karyanya di grup,” jelas Benny.

Keinginan orang untuk mendapatkan kritik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas dirinya. menurut Benny karena anggota di grup sudah terbiasa untuk bicara dengan terus terang. “Kalau karyanya jelek ya kita bilang jelek, begitu pun sebaliknya,” imbuh Benny.

Hal itu juga berlaku jika berbicara tentang produk seperti kamera. Padahal, Benny sendiri mengaku dekat dengan beberapa orang distributor kamera resmi. “Tetapi kita coba fair saja. Bahkan penulisan merek ditulis jelas, tidak disamarkan dengan huruf diganti tanda bintang,” dia menyebutkan.

Suasana yang egaliter memang sepertinya ingin dibangun Benny dkk. Komunitas ini misalnya tidak menggunakan model kepengurusan regional daerah seperti umumnya organisasi yang sudah mempunyai anggota di daerah. “Bahkan DCI sendiri tidak ada ketua. Kita hanya admin yang berjumlah 30 orang dan saling mendukung,” kata Benny.

Tidak dipakainya berbagai model layaknya sebuah organisasi resmi, menurut Benny lebih kepada para admin menginginkan komunitas ini lebih seperti sebuah keluarga besar, apalagi dengan latar belakang anggotanya yang amat beragam, mulai dari para profesional, sampai anak sekolah yang baru mau membeli kamera. Maka tidak heran jika di komunitas ini, siapa pun dan berapa pun usianya, dipanggil dengan “om” dan “tante”.

“Tidak ada yang pintar, tidak ada yang bodoh, semua sama. Saya juga jadi merasa muda terus. Hahaha!” ujar Benny.

Walaupun anggota bisa “bergaul” dengan bebas, tetap ada syarat-syarat tertentu yang berlaku di dalam grup ini. Misalnya berjualan. Benny mengungkapkan, dulu para anggota di grup bebas berjualan produk dimana saja. Namun sekarang sudah ditertibkan, dengan masuk dalam thread“Warung”.

Begitu pun dengan konten-konten yang berbau pornografi dan SARA, sudah dihilangkan sebisa mungkin. “Penertiban ini awalnya hanya dilakukan admin, namun semakin kesini semuamember makin sadar sehingga sudah saling mengingatkan Kita sering mendapat report dari member soal link spam,” kata Benny.

Aktivitas DCI tentu tak hanya sebatas online. Para admin dan penggiat komunitas ini juga aktif mengadakan kegiatan nyata. Mereka kerap mengisi berbagai workshop-workshop, bahkan hingga ke daerah. Beberapa waktu lalu misalnya, Benny datang ke workshop yang diadakan anggota DCI di Tanjung Selor, Kalimantan Utara.

Beberapa waktu lalu juga berhasil digelar DCI Goes to School (DGS) yang terselenggara di sekitar 10 SMA di Jakarta, Tangerang, dan Depok. Menurut Benny, kegiatan ini diadakan tidak terlepas dari pengamatan mereka bahwa siswa sulit untuk mendapatkan ilmu sinematografi, bahkan untuk sekadar ilmu dasarnya saja. Ini termasuk di SMK yang ada jurusan multimedia ataubroadcasting.

Di sisi lain, pengajar yang menguasai bidang ini masih relatif sedikit, dan mereka rata-rata hanya guru, bukan praktisi. “Sementara DCI tempat berkumpulnya praktisi, sehingga kita ingin berbagi ilmu, terutama ilmu-ilmu yang biasanya hanya bisa didapat di lapangan,” Benny menyebutkan.

Setelah DGS, para pengurus DCI sudah siap dengan gelaran Cinema Camp. Kegiatan DGS yang hanya berlangsung beberapa jam dalam satu hari dirasa tidak akan maksimal. Maka peserta dari sekolah-sekolah yang sudah ikut DGS akan dikumpulkan sekitar 3-4 hari untuk mengikuti sharing berbagai hal tentang sinematografi seperti penulisan skenario sampai menjadi film.

Ke depan, Benny sudah menyebut beberapa rencana. Salah satunya ingin mengadakan DGS di daerah-daerah. Mereka juga sudah mendiskusikan rencana Photo Video Day dengan berbagai event seperti pemutaran film, pameran foto, diskusi dan workshop baik foto dan video. Namun kedua rencana ini menurut Benny memerlukan biaya yang tidak sedikit, “sementara selama ini untuk ‘ongkos bensin’ saja ditanggung sendiri, sehingga kita dalam proses mencari dana,” kata Benny.

Menurut Benny, ia dan rekan-rekan di DCI memang berusaha menyebarkan pengetahuan sinematografi seluas mungkin, ke teman-teman sedini mungkin. Mimpi Benny dkk, kalau para siswa sudah tahu tentang produksi film sedini mungkin, maka apresiasi terhadap film akan naik, sehingga mereka tahu film jelek atau bagus, dan pada akhirnya berdampak kepada para pembuat film yang akan berusaha meningkatkan standar mutu karyanya. Semua berawal dari mimpi bukan?

Sumber: Daily Oktagon

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *