Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003. Organisasi yang mempunyai motto “Bersama Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan memperjuangkan hak-hak difabel di seluruh Indonesia hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif.
SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga difabel masih dimarginalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga difabel seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi diskriminasi terhadap warga difabel.
SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena keadaan yang berbeda. Program SIGAB dengan jaringannya berusaha menciptakan kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran sehingga tidak ada lagi yang tersisihkan.
Sebagai organisasi yang konsisten melawan segala bentuk diskriminasi, SIGAB menolak penggunaan istilah penyandang cacat karena dalam kultur bangsa Indonesia sebutan itu sangat merendahkan derajat manusia dan anti kesetaraan. Oleh karena itu, SIGAB memilih untuk menggunakan kata difabel yang dirasa lebih adil dan mengangkat derajat manusia.
Difabel merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris “diffable”, akronim dari “differently able people” yang berarti orang yang mampu dengan cara yang berbeda akibat kelainan fisik dan/atau mental.
Istilah “difabel” ini digunakan untuk melawan istilah “penyandang cacat”. Pelabelan cacat terhadap seseorang ternyata membawa akibat diskriminasi. Pelabelan tersebut bahkan bergeser pada dikotomi “mampu” dan “tidak mampu”, yang akhirnya mengidentikkan penyandang cacat sebagai orang yang tidak mampu (disable). Padahal, kenyataannya tidak demikian. Seorang pelukis yang tak mempunyai lengan, misalnya, tetap dapat melukis di atas kanvas dengan baik, meskipun cara melukisnya berbeda dengan kebanyakan orang. Jadi, yang ada sebetulnya bukan ketidakmampuan (disability) melainkan perbedaan kemampuan (different ability/diffability). Predikat “tidak mampu” inilah yang akhirnya menyebabkan “penyandang cacat” tersisih dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.
Disability (ketidak mampuan) itu sendiri oleh SIGAB dipandang sebagai sebuah realitas yang terjadi atas kegagalan lingkungan, pemerintah, masyarakat, maupun tatanan serta system dalam merespon fakta difabilitas. Seorang yang tak mempunyai ke dua kakinya misalnya, hanya mampu bermobilitas dengan menggunakan kursi roda dan di lingkungan yang tak berundak. Hal ini berbeda dengan orang kebanyakan yang bermobilitas dengan cara berjalan kaki. Ini adalah fakta difabilitas. Namun demikin, hidup di lingkungan yang tak memperhatikan realitas difabilitasnya membuat ia harus terkurung oleh tidak tersedianya kursi roda, jalan dan bangunan yang berundak, sarana transportasi yang tak ramah sehingga dalam situasi itu, ia telah ditidak mampukan oleh lingkungan yang ada.
Perjuangan penghapusan diskriminasi terhadap difabel harus dimulai dari menggeser ideologi dominan yang telah lama bersarang dalam benak para birokrat, masyarakat, dan bahkan difabel sendiri. Dengan alasan itulah SIGAB secara resmi menggunakan istilah difabel. Penggantian istilah ini bermuatan ideologis dan menggambarkan cara pandang SIGAB terhadap pemanfaat programnya.
Penggunaan istilah difabel mempunyai makna filosofis bahwa:
Sumber: Laman SIGAB