JURnaL Celebes: Pengelolaan Danau Matano Multipihak Berkelanjutan

PENDEKATAN ekosistem perlu diterapkan dalam mengelola dan melindungi Danau Matano. Pendekatan ini bukan hanya menitikberatkan pada penyelamatan dan perlindungan badan Danau Matano yang sudah ditetapkan jadi Taman Wisata Alam (TWA) di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Tidak akan berdampak besar terhadap kelestarian danau  jika hanya memfokuskan pada perairan danaunya  saja. Akan tetapi harus dillihat secara menyeluruh sebagai sebuah ekosistem yang perlu diselamatkan.

”Harus dilihat secarah utuh mulai dari hulu sampai ke hilir danau bahwa di sana ada ruang kehidupan yang perlu diperhatikan daya dukungnya. Disana ada interaksi  sosial masyarakat lokal maupun masyarakat adat yang memanfaatkan ruang untuk hidup, di sana juga ada flora dan fauna yang butuh ruang untuk hidup. Di sana juga ada kearifan lokal dan budaya yang butuh dilestarikan. Di sana ada ruang khusus perlu pertahankan fungsi lindungnya. Sampai pada adanya kewenangan yang perlu mengatur pemanfataan ruang supaya ruang yang ada mampu memberikan kehidupan bagi semuanya. Kita  sudah tidak bisa mempertahankan arogansi masing-masing untuk merumuskan pengelolaan dan perlindungan Danau Matano,” papar Direktur Perkumpulan Wallacea, Basri Andang dalam Pertemuan Multi Pihak Penataan Lahan dan Perlindungan Ekosistem DTA (Daerah Tangkapan Air) Danau Matano, Kabupaten Luwu Timur Secara Berkelanjutan, (01/06/2016), di Aula Pertemuan Kantor Kecamatan Nuha, Sorowako, yang disampaikan ke JURnaL Celebes lewat press release.

Pertemuan ini dilaksanakan Perkumpulan Wahana Lingkungan Lestari Celebes Area (Wallacea) bersama Perhimpunan Burung Indonesia.

Mengapa Danau Matano perlu mendapat perhatian serius untuk dilindungi ekosistemnya? Menurut Basri, dari aspek keanekaragaman hayati seperti yang tertuang dalam Profil Ekosistem Wallacea, disebutkan bahwa Danau Matano merupakan salah satu danau berada di dalam Kelompok Danau Kabupaten Luwu Timur. Danau lainnya  yaitu Danau Mahalona dan Danau Towuti. Ketiga danau tersebut sebagai ‘’Surga Bagi Biota Air Endemis Di Indonesia’’ karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2014, kompleks danau ini menyimpan 29 jenis ikan, 19 jenis diantaranya termasuk endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia kecuali di danau ini (IUCN, 2003) dan terdapat 13 sampai 15 jenis udang air tawar yang endemis. Bahkan masih banyak dari jenis yang belum diketahui jenisnya.

Khusus di Danau Matano terdapat tujuh jenis tanaman endemik, 12 molusca endemik dan paling tidak 17 jenis ikan yang endemik, antara lain seperti Glossogobius matanensis, Telmatherina abendanoni, T. Bonti, T. Antoniae, Oryzias matanensis dan Dermogenys weberi.
Selain di perairan danau, di sekitar Danau Matano, terdapat kawasan hutan yang perlu dipertahankan fungsi lindungnya untuk mencegah erosi, longsor dan banjir serta tempat hidup beranekaragam jenis tumbuhan maupun hewan baik yang statusnya dilindungi maupun endemik.

Namun di sekitarnya juga hidup masyarakat lokal/mayarakat lokal yang  sudah turun temurun berada di sana dengan berbagai budaya dan kearifan lokalnya sampai sekarang. Di sektar Danau Matano terdapat sedikitnya lima desa yang langsung maupun tidak langsung mempunyai hubungan dengan danau.

Hal itu tidak bisa dipisahkan pentingnya memperjelas batas-batas wilayah administrasi desa karena akan terkait dengan peran dan kewenangan desa.
Belum lagi jika bicara soal  kewenangan pengelolaan badan Danau Matano yang berada di bawah kewenangan BKSDA. Namun bukan berarti Pemkab Luwu Timur sama sekali tidak memiliki peran dan tugas dalam pengelolaan  Danau Matano karena berada di dalam wilayah Administrasi Kabupaten Luwu Timur sehingga perlu dibicarakan pengelolaan bersama antara BKSDA dengan Pemkab Luwu Timur.

Menurut Basri, paling mengkhawatirkan semua pihak, adalah  keberadaan PT Vale karena beberapa daerah hulu Danau Matano masuk dalam areal konsesi tambang PT Vale.
Berangkat dari kondisi yang ada  itu mendorong Perkumpulan Wallacea Palopo dan Perhimpunan Burung Indonesia untuk mengajak para pihak untuk duduk bersama membicarakan bagaimana pengelolaan dan perlindungan ekosistem Danau Matano.

Melalui  pertemuan multi pihak yang digelar awal Juni 2016 lalu, Perkumpulan Wallacea dan Perhimpunan Burung Indonesia mengundang sejumlah pihak terkait di Luwu Timur, diantaranya KPHL, Bappeda, Dinas ESDM, Dinas Kehutanan, BPMPD, PT. Vale, Camat Nuha, Warga Desa Nuha, dan Warga Desa Matano untuk terlibat dalam pertemuan awal.

Menurut Koordinator Program Perkumpulan Wallacea, Mirdat, sudah saatnya semua pihak duduk membahas agenda bersama. Misalnya, agenda yang telah dilakukan Perkumpulan Wallacea sendiri dalam beberapa bulan terakhir ini adalah mendamping warga di dua desa (Matano dan Nuha) telah melakukan sejumlah aktifitas penataan wilayah kelola masyarakat, wilayah perlindungan, dan wilayah aktivitas dan perkampungan.

”Saat ini warga di dua desa sementara melakukan proses pengambilan titik koordinat untuk penataan wilayah perlindungan, wilayah kelola, dan wilayah aktivitas di setiap desa yang hasilnya yang akan melahirkan peta tata guna lahan desa dan peta administrasi desa.  Kami bersama warga sementara melakukan pengambilan titik koordinat untuk tata guna lahan dan peta administrasi desa yang di dalam peta tersebut akan termuat sejumlah ruang, seperti wilayah perlindungan, aktivitas berupa pemukiman dan kegiatan soosial, dan wilayah kelola/produksi masyarakat. Dalam hal ini kami bersama warga tetap mengedepankan area perlindungan yang diharapkan tidak menghilangkan lahan kelola masyarakat,” urai Mirdat.

Basri Andang yang juga hadir dalam pertemuan multi pihak mempertegas  pentingnya pemetaan wilayah menjadi awal dari upaya menjaga ekosistem Danau Matano yang selanjutnya hasil  pemetaan akan disinkronkan dan dikawal oleh semua pihak dalam mewujudkan perlindungan ekosistem Danau Matano.

“Paling tidak dalam pertemuan ini kita membangun harapan bersama terhadap perlindungan ekosistem Danau Matano dengan melibatkan semua pihak, hingga tidak hanya pemerintah, pihak swasta, warga desa, yang bertanggung jawab tapi semua pihak secara bersama,” tegas Basri Andang.

Basri menambahkan pemerintah telah membuat aturan tentang pemetaan desa dalam Permendagri No. 27 Tahun 2006 tentang Penegasan Penetapan dan Penegasan Batas Desa. Dengan adanya permen ini maka mengharuskan setiap desa harus memperjelas batas administrasi desa. Dari 74.754 desa di Indoensia baru 30% yang memiliki peta desa, selebihnya hanya indikatif saja. Tentunya hal inil akan menimbulkan konflik ruang dan butuh penanganan bersama.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Bappeda Luwu Timur, Ir. Syaifullah menyampaikan respon positifnya terhadap inisiasi yang dilakukan Perkumpulan Wallacea bersama Burung Indonesia yang mau membantu Pemerintah Kabupaten Luwu Timur untuk membahas pengelolaan dan perlindungan ekosistem Danau Matano secara berkelanjutan.
”Kami bersedia menindaklanjuti pertemuan multipihak ini. Kami harapkan pelaksana menyerahkan hasil rumusan dari  pertemuan ini kepada Bappeda supaya kami akan mengkoordinasikan dalam perencanaan instansi teknis dan mensinkronkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Luwu Timur yang juga berorientasi pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan,” ungkap Syaifullah.

Koordinator Regional Sulawesi Program CEPF Wallacea, Andi Faisal Alwi meminta kepada semua pihak yang hadir dalam pertemuan untuk menjaga komitmen perlindungan ekosistem Danau Matano. Paling tidak  yang dibutuhkan adalah pembagian peran dan kerja dari masing pihak sehingga tidak meletakkan tanggungjawab pada satu pihak saja.

”Kami juga sudah melaksanakan workshop dilevel wilayah yangmana setiap pemerintah kabupaten diminta untuk menyusun rencana aksinya, sehingga diharapkan hasil pertemuan ini akan memperkaya aksi di level Kabupaten Luwu Timur,” ujarnya.

Dalam rangka mendukung pelestarian ekosistem Danau  Matano, Mahalona dan Towuti  di Kabupaten Luwu Timur ini, sambung Andi Faisal Alwi, Burung Indonesia bermitra dengan 3 lembaga yang terdiiri dari Perkumpulan Wallacea, Fakultas Kehutanan  Unanda, dan Fakultas Perikanan Unanda. Ketiganya bekerja di level tapak/lapangan dan penelitian keanekaragaman hayati.

Sumber: Laman JURnaL Celebes

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *