Indonesia Menuju Satu Peta

Pemangku Adat Kaluppini, Abdul Halim, menunjukkan kepada Republika jajaran batu yang tertata secara alami di desanya. Itulah salah satu contoh tapak yang menjadi batas alami kawasan di desanya.

Jajaran batu, pohon, sungai, saat ini masih menjadi tapak batas di berbagai daerah. Awal 2015, masyarakat adat Kaluppini mulai melakukan pemetaan partisipatif. Survei sudah dilakukan di beberapa lokasi. Survei itu untuk melihat batas wilayah, sebelum dibahas secara bersama dengan  desa-desa yang berbatasan agar dapat ditetapkan bersama sebagai batas definitif yang diakui bersama.

Setelah survei, masih ada tahapan-tahapan lain, seperti melihat data citra satelit dan GPS, serta pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan data-data sosial. Kepala Desa Kaluppini, Suhardin, bahkan ikut turun ke lapangan mendampingi pelaksanaan survei –termasuk ikut bermalam di lokasi. Wilayah berbukit dan jauh, membuat rombongan survei Kaluppini di awal 2015 –yang terdiri 20 orang– sering bermalam di lokasi. Adakalanya pukul 14.00 berangkat, baru masuk kampung yang dituju pukul 21.00.

Tetapi, karena kesibukan acara-acara di komunitas adat, program pemetaan partisipatif terhenti lebih dari setahun. ‘’Rencananya bulan September ini kita mulai lagi,’’ ujar Suhardin kepada Republika, Jumat (8/9).

Pemetaan partisipatif, menurut Abdul Halim, difokuskan di 13 tanah ongko dan situs sejarah masyarakat adat Kaluppini. ‘’Sekarang akan melanjutkan kembali tahap survei yang sempat terhenti karena kesibukan mengadakan acara-acara komunitas adat,’’ kata pemangku adat yang menduduki posisi imam itu.

Masyarakat adat Kaluppini memiliki tanah ongko sa’pulo tallu (13 kawasan pilihan) yang menjadi hak adat mereka. Tak semuanya berupa hutan, karena sudah ada yang menjadi kebun atau lainnya.

Mereka pernah beramai-ramai menolak rencana penambangan di hutan yang menjadi kawasan adat mereka. Survei geologi telah menemukan kandungan emas di tanah ongko mereka. Penolakan berpangkal pada kelestarian hutan yang menjadi hak adat mereka. Masyarakat adat Kaluppini itu berpendapat, tambang akan merusak segalanya. ‘’Bukan saja merusak tanah ongko yang ada emasnya, tambang juga akan memorakporandakan tatanan, lingkungan, dan lainnya,’’ kata Halim.

Tinggal dikelilingi hutan, masyarakat adat Kaluppini –yang tersebar di lima desa; Kaluppini, Tokkonan, Rosoan, Tobalu, dan Lembang– tahu benar cara menjaga hutan. Hukum adat mereka memberikan persyaratan ketat dalam pemanfaataan hasil hutan. ‘’Misalnya ada yang akan mengambil kayu di hutan yang menjadi sumber mata air, yang mengambil harus menggantinya dengan menanam pohon penyerap air,’’ ujar Halim.

Pemanfaatan hutan untuk kebun baru di luar tanah ongko, memiliki syarat-syarat tertentu pula. ‘’Tak boleh ditebang habis, kayu keras harus dipertahankan, ketika membuka lahan, ternyata di situ ada mata air, pembuka lahan harus menanam kayu penyerap air, tak boleh menghilangkan fungsi hutan,’’ tutur Halim.

Antusiasme pemetaan

Menurut Bupati Enrekang Muslimin Bando, Enrekang berpenduduk sekitar 252 ribu jiwa, tercakup di 129 desa/kelurahan yang ada di 12 kecamatan. Masyarakat adat yang terdata di pemda mencapai 48 komunitas. Jumlah ini mengalami perkembangan yang luar biasa, karena menurut catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebelumnya cuma ada 18 komunitas masyarakat adat, tersebar di 30 desa.

‘’Jumlah yang terdaftar di pemda jadi banyak lantaran ketika ada rencana pembuatan perda perlindungan, banyak yang mendaftarkan diri sebagai komunitas adat,’’ ujar Ketua PD AMAN Massenrempulu, Paundanan Embung Bulan.

Sebelum ada pemetaan partisipatif, masyarakat adat di Enrekang –dan juga masyarakat adat di daerah lain– hanya mengandalkan petunjuk batas wilayah dengan tanda-tanda tertentu, seperti batu-batu besar, sungai, dan sebagainya. Masyarakat adat Kaluppini dan juga 17 komunitas adat lainnya di Enrekang, tentu berhak mengelola wilayah mereka sendiri. Dengan pemetaan partisipatif, mereka akan menentukan batas wilayah, menuliskan sejarah asal-usul, menuliskan data sosial, dalam profil wilayah mereka.

Dari 18 komunitas adat di Kabupaten Enrekang, baru tiga desa yang selesai pemetaannya, yaitu Tapong dan Baringin di Kecamatan Maiwa dan Patongloan di Kecamatan Baroko. Desa Ranga, Pasang, Matajang, Marena, Buntu Batu, Buntu Pema, Batu Noni, Talungora, dan Bole, dalam proses perencanaan.

Didasari semangat agar masyarakat hukum adat mendapat pengakuan dan perlindungan, Lewi Felle, tokoh adat dari Sentani Selatan, melibatkan diri dalam sosialisasi pemetaan partisipatif. Ia terlebih dulu mengikuti pelatihan. ‘’Pekerjaan ini memakan waktu yang panjang karena harus mengadakan tahapan pertemuan-pertemuan masyarakat,’’ ujar Lewi kepada Republika di Jayapura.

Sumber: Republika

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *