Aktivis Perempuan Prihatin Maraknya Intoleransi Yogyakarta

Sejumlah Aktivis perempuan prihatin dengan maraknya intoleransi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Mereka menggelar dialog lintas iman untuk mempromosikan toleransi adil gender. Dialog yang melibatkan umat dari berbagai agama itu berlangsung di Pura Hindu Jaganata di Banguntapan, Bantul, Jumat sore, 22 Januari 2016. Mereka yang datang ada yang berasal dari kelompok penghayat kepercayaan.

Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta dan Fatayat Nahdlatul Ulama merupakan penggagas acara itu. Aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, Hikmah Diniah, mengatakan intoleransi kerap menimpa perempuan yang aktif berorganisasi. Di sejumlah forum di desa-desa maupun di kampung masih terjadi perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Misalnya ketika perempuan yang tidak berjilbab aktif mengajak berorganisasi.

Sejumlah perempuan itu sering dicurigai sebagai orang yang akan mengajak orang lain pindah agama. “Isu kristenisasi banyak bermunculan. Banyak kelompok intoleransi yang melanggengkan itu,” kata Hikmah. Padahal, perempuan punya kebebasan dan otoritas untuk memilih keyakinan dan apa yang dia pakai.

Dia juga mengkritik pemerintah yang tidak mampu memberikan jaminan rasa aman terhadap rakyat untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya. Diskriminasi juga kerap menimpa kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Kelompok-kelompok intoleransi kerap melakukan kekerasan terhadap mereka. Kasus kekerasan terhadap aktivis dan feminis Kanada Irshad Manji hingga kini belum juga rampung.

Belakangan terjadi penyerangan sekelompok orang terhadap umat Katolik yang memanjatkan doa rosario di Kabupaten Sleman. Di Kabupaten Gunung Kidul terjadi penutupan sebuah gereja, penganiayaan terhadap aktivis lintas agama, dan polemik pelarangan serta ancaman kelompok agama tertentu terhadap rencana Paskah Adiyuswa Sinode Gereja Kristen Jawa yang sedianya diselenggarakan 31 Mei 2014.

Ketua Fatayat NU Kota Yogyakarta, Enika Maslahah, menyatakan organisasi perempuan yang mempromosikan nilai-nilai keberagaman sering menjadi sasaran kelompok intoleransi. Dia mencontohkan acara budaya lintas iman di Kotagede beberapa tahun lalu dibubarkan oleh kelompok intoleransi. “Ibu-ibu yang datang dari lintas agama batal tampil dalam acara budaya itu,” kata Enika.

Intoleransi yang menimpa perempuan, kata Enika juga kerap terjadi di sekolah-sekolah dasar. Misalnya sejumlah sekolah mewajibkan siswinya untuk mengenakan jilbab. Penggunaan jilbab ini digunakan sebagai penanda identitas di sekolah. Ada pula kos-kos mahasiswa yang berlabel kos muslim.

Menurut Enika, kelompok perempuan perlu lebih banyak mempromosikan nilai-nilai pluralisme. Caranya adalah melalui berbagai forum lintas iman. Misalnya Fatayat yang punya pengajian rutin mengundang perempuan umat Hindu. Sebaliknya, ketika kelompok perempuan umat Hindu punya acara bisa mengundang kelompok perempuan dari berbagai agama.

Sumber: Tempo

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *