Eksistensi cara berladang tradisional masyarakat adat yang unik karena berkaitan dengan ritual masyarakat dan sudah dilakukan secara turun-temurun sedikit terancam karena menghadapi kriminalisasi.
Ancaman kriminalisasi kerap terjadi terhadap masyarakat yang melakukan kegiatan berladang dengan cara membakar. Padahal, Mekanisme pembakaran lahan oleh masyarakat ini dilindungi dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup.
Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam diskusi media Pola Berladang Masyarakat Adat yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (27/09). Hadir dalam diskusi tersebut adalah, Mina Susanna Setra sebagai Deputi Satu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Tommy Indriadi dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nasional (PPMAN), serta Florensius Rengga & Verdanius Muling, sebagai perwakilan masyarakat adat lokal dari Sungai Utik, Kalimantan Barat
Menurut Deputi Satu Aliansi Masyarakat Ada Nusanrara Mina Susanna Setra, pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat adat tidak sembarangan, karena semuanya dilakukan berdasarkan kearifan lokal yang berlaku di masyarakat dengan diawasi secara ketat oleh ketua adat. Lahan yang dibakar adalah lahan yang terletak di atas tanah mineral, bukan tanah gambut. Pelanggaran terhadap praktek pembakaran ini sangat berat yakni sanksi adat dari pemuka adat.
“Masyarakat adat sudah melakukan tradisi berladang secara turun-temurun. Yang perlu diluruskan, mereka tidak membakar hutan tapi membuka ladang yang wilayahnya sudah dialokasikan atas dasar musyawarah adat. Berladang juga sebagai benteng terakhir pertahanan budaya, karena semua tradisi dan kebudayaan mereka berkaitan dengan dengam sistem pertanian. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi mereka, dan melindungi segala tradisi yang telah dijaga oleh masyarakat adat,” ujarnya melalui siaran pers, Selasa (27/09).
Akibat ancaman kriminalisasi, maka masyarakat adat mulai tidak lagi berladang karena takut ditangkap oleh aparat. Bila hal ini terus dibiarkan, maka potensi ancaman kelaparan terhadap masyarakat adat sangat besar. Padahal, apa yang dilakukan oleh masyarakat ini sudah dilindungi oleh payung hukum yang berlaku.
Perwakilan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara Tommy Indriadi mengatakan, pembakaran ladang oleh masyarakat adat ini dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 69 Ayat 2 dijelaskan bahwa membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing.
“Penangkapan aparat terhadap masyarakat adat yang membuka lahan harus dihentikan. Apa yang mereka lakukan sudah dijamin oleh Peraturan Menteri dan dikuatkan dengan Undang-Undang. Pemahaman aparat perlu ditingkatkan mengenai hal ini. Bila upaya kriminalisasi terus dilakukan, maka sesungguhnya aparat telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang’” jelas Tommy.
Florensius Rangga, perwakilan masyarakat adat dari Sungai Utik Kalimantan Barat mengatakan, selain sudah terbukti selama bertahun-tahun tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, pola bertanam ini menjamin kesediaan pangan bagi masyarakat adat. Oleh karena itu, metode berladang masyarakat adat harus dilindungi dan dilestarikan.
“Selain potensi ancaman kelaparan, larangan berladang juga akan menimbulkan hilangnya keanekaragaman hayati. Dengan berladang, masyarakat menjaga kelestarian bibit lokal. Tidak hanya bibit padi yang diwariskan secara secara turun-temurun, tapi juga bibit tanaman sela yang hanya ada di daerah mereka”, ujarnya.
Sumber: Kabar24.com