IHAP: Ayo Lestarikan Tenun Ikat TTU Bantu Buka Lapangan Pekerjaan

Semakin meningkatnya angka korban trafficking yang menelan korban bahkan kehilangan nyawa para tenaga kerja mingran, mendorong salah satu aktivis NGO di TTU, Marcel Manek tergugah hatinya dan membuka kesempatan bagi kaum perempuan di beberapa desa di Bumi Biinmaffo.

Marsel memanfaatkan potensi dan kemampuan yang dimiliki masyarakat untuk dijadikan mata pencarian. Salah satu potensi yakni lestarikan tenun ikat lokal.

Koordinator advokasi pada Institut Hak Asasi Perempuan (IHAP), TTU melalui siaran pers kepada Pos Kupang, Minggu (31/7/2016) siang menjelaskan, ibu-ibu yang dikumpulkan seperti di Kecamatan Biboki Utara di Desa Hauteas, Desa Biloe dan Desa Hauteas Barata untuk bergabung dan membentuk kelompok tenun ikat.

“Melalui kelompok tenun ikat, ibu-ibu dilatih untuk tidak saja menenun tapi bagaimana mengembangkan kemampuan bisnis sehingga hasil tenunan yang dibuat dapat memberikan dampak ekonomi bagi kaum perempuan di desa,”tulisnya.

Tenun ikat motif Biboki, demikian Marsel , sesungguhnya menjadi representasi simbol bahwa perempuan Biboki tangguh dan mandiri. Hal tersebut bisa dilihat dari motif dan proses membuat tenun ikat yang rumit tapi mampu dirangkai dengan baik oleh perempuan di desa.

“Kita berharap dengan adanya empat kelompok tenun ikat yang tersebar di tiga desa ini, pemerintah dapat memberikan dukungan khususnya dalam aspek marketing, karena sejauh ini kita masih sedikit terkendala. Namun tetap kita bangun komunikasi dengan pihak-pihak yang berpotensi menjadi pembeli,”tulisnya.

Disaksikan Pos Kupang, Sabtu (30/7/2016), ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Nu’lasi sibuk dengan kegiatan menenun. Ada yang memintal benang, ada yang membentuk motif dan ada yang menenun.

Salah satu anggota kelompok mengatakan, lebih baik mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada di desa ketimbang menjadi pekerja mingran dengan iming-iming yang ternyata hanya bohong.

“Lebih baik kita kerja di kampung tapi punya penghasilan yang pasti. Kalau jadi TKI tapi ternyata dibohongi. Danm yang terjadi kita pulang tanpa nyawa” jelas Lydia (47), Ketua Kelompok Tenun Ikat Nu’lasi.

Marsel sang inisiator ketika ditanya soal harapan ke depan menjelaskan, apa yang dilakukan berangkat dari keprihatinannya atas kondisi persoalan kemanusiaan di Bumi Biinmaffo, perbatasan RI-RDTL.

Lanjutnya, kondisi tenaga kerja migran sudah memprihatinkan dimana banyak anak daerah yang sudah jadi korban perdagangan oknum tidak bertanggungjawab. Dia berharap pemda baik kabupaten maupun Provinsi NTT bisa memberikan support atas upaya yang dilakukan.

“Kita tidak butuh dana, tapi yang kita butuhkan adalah dukungan dari pemerintah agar membuka kran pemasaran serta upaya pendidikan, karena apa yang kita lakukan masih terbatas. Saya sangat termotivasi karena ternyata ibu-ibu di desa memiliki semangat yang luar biasa untuk bersama melakukan perubahan” kata Marsel.

Sumber: Pos Kupang

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *