Pentas lumba-lumba yang bakal dihelat di pelataran parkir Mal Lembuswana, masih terus menuai kecaman. Setelah warga Samarinda yang tergabung dalam komunitas Save Pesut Mahakam membuat petisi penolakan sirkus lumba-lumba tersebut, kini Jakarta Animal Nettwork (JAAN) juga angkat suara.
Dihubungi via ponsel, Direktur JAAN, Benvika mengatakan sirkus lumba-lumba yang akan digelar tersebut menggunakan izin peragaan yang nyatanya tetap komersial. Padahal, hewan yang masuk dalam apendik I itu tidak boleh dijadikan objek hiburan yang berbau sirkus.
“Iya kita sangat menolak adanya acara itu. Kami menyayangkan sekali, kenapa Samarinda mau menerima hiburan sirkus berkedok peragaan itu. Kalau mau cari hiburan, bisa saja tetap di ancol jadi sifatnya on the spot,” jelasnya.
Secara perizinan, lanjut dia, hiburan lumba-lumba tersebut memang sudah mengantongi ijin peragaan. Namun pedoman yang digunakan panitia hiburan lumba-lumba itu salah dan memang berbau bisnis. Mereka mencari uang dengan alasan untuk kelangsungan hidup mamalia itu sendiri. Tapi nyatanya si mamalia dipaksa menghibur bahkan tidak diberi makan untuk memancing semangat mereka dalam menghibur penonton.
“Izin peragaan yang asli itu sifatnya on the spot, edukasi dan konservasi. Tapi yang ada di Samarinda ini, peragaan yang semata-mata hiburan dan komersil. Yang paling disesalkan adalah cara mereka membawa mamalia itu ke sana. Dari Jakarta mereka naik pesawat dan bertahan hidup sendiri. Padahal lumba-lumba itu hanya mampu bertahan tanpa air selama 4 sampai 5 jam saja, setelah itu mereka stres,” ungkapnya.
Dulu, lanjut dia, pihaknya pernah membuat perjanjian dengan Angkasa Pura untuk tidak menerima penerbangan mamalia itu. Namun ibarat kecolongan, mamalia itu malah diterbangkan ke Balikpapan dan menjadi tontonan di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan.
“Mereka dipaksa melakukan 6 kali peragaan setiap hari, musik yang hingar bingar, ditambah air tawar yang dicampur klorin akan membuat mereka stres dan kulitnya iritasi. Mata mereka juga tak mampu bertahan lama di air semacam itu, ini hanya manipulasi peragaan yang menggunakan edukasi konservasi. Lumba-lumba itu mau loncat di air karena perasaan mereka bahagia bebas berenang. Kalau peragaan itu, mereka dipaksa. Jadi gerakan itu tidak pernah sesuai dengan insting mereka sendiri. Ini bukan edukasi tapi ini pembodohan,” sebutnya.
Ben menjelaskan, penderitaan yang ditanggung lumba-lumba itu sangat menyedihkan. Mereka berusaha bertahan dengan berat tubuh 2 bahkan 3 kali berat tubuhnya pada saat di luar air. Kekhawatiran terberat JAAN, lumba-lumba tersebut ada yang stres hingga mati. “Kalau sampai ada kejadian kematian pada mamalia itu, kita akan merespon dan kita akan tuntut ini terutama dari pihak Ancolnya sendiri,’ pungkasnya.
Sumber: Radar Kaltim