Prihatiningsih: Jatuh Cinta Membaca dan Dunia Mengajar

Ketika dulu ia masih kecil, kakaknya yang dulu punya profesi sebagai baby siter sering membawa pulang banyak majalah dan buku. Ketika sang kakak pulang, ia langsung dengan sigap mengambil buku-buku dan majalah itu untuk ia baca. Kebiasaannya ini kemudian membuatnya punya ketertarikan dalam dunia pendidikan, yakni membaca buku, menulis, dan mengajar.

Perkenalkan gadis kecil yang gemar membaca itu namanya adalah Prihatiningsih. Perempuan kelahiran tahun 1986 ini adalah salah satu pendiri komunitas yang fokus pada bidang pendidikan anak-anak prasejahtera, bernama Komunitas Jendela. Bersama lima orang temannya di Yogyakarta ia pertama kali membuat gerakan ini di Shelter Gondang 1 Cangkringan Merapi, Yogyakarta.

5 Sekawan dengan Kesamaan Visi

Komunitas atau gerakan membaca buku dan pendidikan alternatif yang resmi berjalan dan melakukan program pada 2011 ini berawal dari persahabatan Prihatiningsih dengan keempat temannya yang ia temui di sebuah seleksi relawan pengajar di Yogyakarta, tempat ia menimba ilmu di perguruan tinggi. Sejak saat itu mereka sering berkumpul dan berbagi cerita. Hingga pada suatu ketika tercetuslah ide mendirikan gerakan buku dan mereka beri nama Komunitas Jendela. Kemunculan komunitas ini juga berlatar belakang kesamaan visi mereka dalam bidang pendidikan.

“Pertama karena kesamaan visi dalam bidang pendidikan sih. Meminjam kata-kata Anies Baswedan, mendidik adalah tugas orang-orang terdidik. Ya masa kita mau membiarkan orang-orang disekitar kita buta huruf dan kurang ilmu? Ya itu tugas kita dong sebagai orang-orang terdidik,” jelas Prie –begitu biasa ia dipanggil.

Memasuki tahunnya yang ke-4 gerakan ini telah menyebar ke beberapa kota di Indonesia seperti, Yogyakarta, Lampung, Bandung dan Jakarta (Kawasan Manggarai) yang dibangun oleh Prie ketika pindah ke Jakarta untuk bekerja. Kegiatan ini juga melibatkan ratusan relawan yang semangat mendidik dan mengajak adik-adik prasejahtera dan masyarakat untuk rajin membaca dan berani bermimpi.

Kegiatan yang dilakukan komunitas ini meliputi kegiatan belajar alternatif luar pendidikan formal, yang meliputi kegiatan membaca, mendongeng, kelas sharing, memasak, kelas cita-cita dan lainnya.

Memutar Otak untuk Jaga Mood Anak

Meski komunitas atau gerakan ini telah tersebar di beberapa kota di Indonesia, perjalanannya bukan berarti tak diwarnai tantangan. Dikatakan Prie, ada beberapa tantangan yang dihadapinya dan ratusan relawan komunitas. Pertama, tantangan itu datang dari upaya meningkatkan minat baca pada anak dan masyarakat, pasalnya untuk membentuk suatu budaya baru, dalam hal ini membaca adalah hal yang tak mudah. Namun Prie menekankan, hal tak mudah berarti tak mungkin terjadi. Suatu budaya itu bisa terbentuk, asal ada andil orang-orang di sekitarnya untuk tergerak menciptakan lingkungan itu.

“dan tentunya program atau upaya-upaya kami ini sifatnya jangka panjang. Jadi tidak bisa diukur, setelah program anak-anak akan langsung rajin membaca,” tambahnya.

Tantangan lainnya adalah dalam hal menjaga mood anak-anak yang tak stabil atau naik-turun. Hal ini bahkan memunculkan tantangan baru bagi pengurus komunitas dan relawan, yakni dalam hal menciptakan ide-ide baru dan segar untuk diberikan kepada anak-anak. Misalnya, relawan harus memikirkan bagaimana cara belajar dan membaca yang menyenangkan. Tak jarang komunitas juga mesti menciptakan suasana belajar baru, agar anak tak mudah bosan.

“Itu dia. Kita ditantang untuk putar otak, apa lagi nih yang mau kita lakukan. Dan ini penting, kita harus benar cermat merumuskan kegiatan, karena anak-anak kan cara belajar dan penerimaannya berbeda, sehingga tak bisa kita samakan. Caranya adalah gaya belajar dan suasana yang bervariatif” jelasnya.

Dan tantangan terakhir adalah tentang menyatukan pikiran dan visi dengan relawan yang jumlahnya sudah ratusan orang dan tersebar di banyak daerah. Tambah Prie, “Jumlah pengurus dan relawan kan ada ratusan orang, nah untuk menyatukan 3 kepala saja sulit kan, apalagi ratusan dan tersebar.”

Untuk mengatasi hal ini Prie mengaku komunitasnya punya kegiatan berkumpul rutin di masing-masing daerahnya dan pertemuan besar, yang disebut dengan istilah ‘Makrab Nasional’. Kegiatan-kegiatan ini dinilai efektif, pasalnya makin merekatkan hubungan para relawan.

Belajar untuk Lebih Bersyukur

4 tahun bersama komunitas dan bertemu anak-anak didik, diakui Prie sangat memberi pelajaran berharga buatnya. Pelajaran itu adalah pelajaran untuk hidup lebih bersyukur dan tidak mengeluh.

“Saya lihat adik-adik dan keluarga kurang mampu waktu berkegiatan bersama Jendela, jujur saya jadi mikir lagi untuk ngeluh. Karena nyatanya permasalahan yang saya hadapi itu nggak seberapa dibandingkan yang menimpa saya,” tandas perempuan asli Magelang, Jawa Tengah ini.

Meski tak aktif lagi di kegiatan rutin komunitas karena sibuk menjalankan kewajiban sebagai karyawan perusahaan minyak dan kini duduk di bangku pembina Komunitas Jendela, Prie masih aktif berkomunikasi dengan koordinator-koordinator relawan di daerah sebaran komunitas. Karena baginya, komunikasi adalah hal yang penting, selain untuk memantau kegiatan, ikatan kekeluargaan juga dapat terbentuk lewat komunikasi yang baik.

Kedepannya ia berharap, melalui Komunitas Jendela, akses terhadap ilmu pengetahuan yang kini masih terbatas kian mudah dan ia juga berharap para relawan makin kreatif memberikan program dan kegiatan yang lebih beragam lagi.

 

DOKUMENTASI: Prihatiningsih

 

2 Comments

  1. agung says:

    subhannallah sangat menginspirasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *