Yessi Nur Muliana: Doodle itu Bukan Sekedar Corat-coret

Siapa sangka kebiasaan corat-coret yang sering dilakukan di bagian paling belakang sebuah buku itu punya makna mendalam bagi seorang Yessi. Baginya, doodle bukan sekedar coretan atau gambar-gambar monster lucu, namun obat pemicu imajinasi dan kreativitas, serta tempat untuknya mencurahkan ekspresi. Ya, makna penting dan mendalam baginya inilah yang kemudian mendorongnya mendirikan sebuah komunitas bernama Full of Doodle Art (FODA) atau komunitas seni doodle/ corat-coret.

Komunitas ini diakui perempuan yang sedang menempuh pendidikan desain komunikasi visual di Universitas Telkom Bandung, Jawa Barat, ini berawal dari percakapan santai dengan teman-teman SMA-nya di kamar tidur, pada 2012 silam.

“Aku kan ikutan komunitas doodle asal negara Filipina sebelumnya, dan pas ngobrol-ngobrol itu aku tiba-tiba kepikiran, bagaimana kalau bikin komunitas semacam itu di Indonesia. Dan kemudian aku nekat langsung bentuk sosial medianya,” jelas Yessi.

Akan tetapi sosial media yang ia buat pertama kali itu tak berjalan sesuai dengan ekspektasinya. Sosial media ini nyatanya tak banyak direspon orang, padahal Yessi dan temannya cukup aktif nge-twit membagikan informasi dan referensi doodle lewat akun tersebut.  Hingga pada suatu ketika, Foda mendapat tawaran untuk ikut kegiatan kampanye bersama komunitas lingkungan bernama Kemangteer. Dalam kegiatan itu, Foda memiliki kesempatan untuk unjuk gigi memperkenalkan komunitas dan karya-karyanya. Tak disangka, setelah acara selesai, sebuah perubahan yang menggembirakan terjadi.

“Kegiatan itu membawa dampak besar untuk Foda, pengikut di media sosialnya bertambah hingga ratusan pengikut. Dan setelah itu aku dan teman-teman pengurus memutuskan untuk pindah ke Instagram.”

Dan empat tahun berjalan, kini FODA telah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, yang diawali pertama kali di kota Surabaya, melalui acara offline, yakni perhelatan Indieclothing Expo. Kemudian komunitas ini mulai tumbuh di kota lain, seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, Malang, Bandung, Jakarta, dan Palembang. Masing-masing wilayah ini memiliki koordinatornya masing-masing yang rutin berkumpul, menggambar bersama, menyelenggarakan skill sharing, workshop, pameran kecil dan talkshow dengan beberapa orang yang berkompeten di bidangnya.

Dikatakan Yessi, jumlah anggotanya yang berjumlah ratusan orang ini terdiri dari latar belakang profesi dan usia yang berbeda. Dan untuk mengkoordinir cabang komunitas yang ada di luar daerah, perempuan asli Kediri ini rutin berkomunikasi dengan para koordinator di masing-masing daerah lewat sosial media. Hal ini dilakukan agar tercipta hubungan baik dan kegiatan yang terkontrol.

Tambahnya, “Lebih kayak curhat aja sih jatuhnya, gimana kegiatannya, bukan laporan tiap hari formal gitu.”

Ketika ditanya soal pembagian waktu mengurus komunitasnya, perempuan yang sekarang duduk di bangku semester 5 perkuliahan ini mengaku awalnya sempat kesulitan membagi waktu. Nilainya bahkan sempat anjlok ketika ia terlalu fokus dengan kegiatan komunitas. Sebaliknya juga pernah terjadi, ketika Yessi fokus dengan kuliahnya, kegiatan komunitasnya malah terbengkalai. Namun diakuinya kini ia berusaha mengimbangi kegiatan kuliah dan komunitasnya dengan cara mengkhususkan akhir pekan untuk kegiatan komunitasnnya.

Berjalan tegap hingga kini bersama komunitasnya dan bergaul dengan anggota yang datang dari beragam tingkatan usia, diakui Yessi banyak memberikan pelajaran soal karakter seseorang dan juga kedewasaan dalam hal menentukan dan memutuskan keputusan.

“Ada kan anggota yang udah dewasa, Yessi sering ngobrol sama mereka dan dari situ aku belajar dari mereka dan tak jarang mendapat wejangan dari mereka. Dulu juga Yessi adalah orang yang gampang disetir, tapi sekarang sudah enggak lagi,” ungkap Yessi dengan suara khas kekanakannya.

Lewat pembicaraan di telepon sore itu Yessi juga mengungkap dukungan orang tua terhadap apa yang ia lakukan. Anak tunggal dari keluarga yang tak punya darah seni ini menjelaskan, kedua orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan apa yang ia lakukan, selama ia melaporkan atau mengajukan ijin ketika ingin bepergian menyambangi komunitas-komunitasnya di daerah lain.

Kedepannya, perempuan yang karya-karyanya berkiblat pada karya seorang penggambar doodle asal Filipina bernama Lei Melendres ini berharap bersama teman-teman komunitasnya, ia dapat menelurkan banyak karya-karya doodle di Indonesia. Bahkan sekarang katanya ia dan teman-temannya sedang menanti-natikan studio FODA yang sedang dalam proses renovasi. Studio yang berlokasi di Bandung ini nantinya akan digunakan Yessi dan kawan-kawan untuk berkegiatan menghasilkan karya seni doodle dan pameran.

DOKUMENTASI: Yessi Nur Muliana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *