Sejumlah tokoh masyarakat dan pemuda nelayan Muara Angke, Jakarta Utara meminta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak memecah belah warga dan tak ikut campur dalam masalah reklamasi di Teluk Jakarta.
Menurut mereka, keterlibatan LSM dalam mencampuri urusan nelayan sudah terlalu jauh dan justru membuat kehidupan nelayan semakin sulit.
Padahal, masyarakat nelayan kini sudah tidak mempersoalkan pengembangan kawasan Teluk Jakarta. Secara khusus, nelayan juga telah menerima putusan banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang memerintahkan reklamasi Pulau G oleh PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk dilanjutkan. Hasil ini sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur sebelumnya.
Saat ini sedikitnya terdapat dua LSM yang terlibat aktif dalam persoalan di Teluk Jakarta. Mereka adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jakarta Utara, Syarifuddin Baso, menjelaskan LBH Jakarta tidak pernah melakukan musyawarah dengan warga Muara Angke terkait rencana pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung. Aksi LBH, menurut dia, telah melangkahi warga Muara Agke.
“LBH Jakarta jangan campuri urusan kami. Kami sudah bosan dengan demo-demo yang hanya mengorbankan nelayan Angke,” kata Syarifuddin saat dihubungi, Selasa (14/11) 2016.
Syarifuddin menambahkan, para nelayan yang mengajukan kasasi justru berasal dari luar Muara Angke. Nelayan tersebut biasanya disebut dengan nelayan andong.
“Kami nelayan asli sudah sepakat untuk tidak menempuh jalur hukum lagi. Jadi, LBH Jakarta meminta pendapat dari nelayan-nelayan yang bukan asli warga Muara Angke,” ungkap Syarifuddin.
Haji Khafidin yang juga salah satu Ketua RW dari lima warga yang menjadi penggugat Pemprov DKI Jakarta terkait Pulau G menegaskan, warga Muara Angke merasa bahwa isu reklamasi justru tidak menguntungkan nelayan. Karena itu, para penggugat merasa perlu untuk menarik gugatan tersebut dan tidak terlibat lagi terkait isu-isu reklamasi.
“Apa yang muncul setelah gugatan itu dilakukan dan menang di PTUN Jakarta Timur tidak memihak nelayan juga. Nelayan dan warga Muara Angke justru tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Makanya kami bersama warga masyarakat lain meminta agar masalah ini dihentikan,” tegas Khafidin.
Para nelayan di Muara Angke, lanjutnya, ingin hidup dan mata pencahariannya terjamin. Jika memang pembangunan pulau bisa memberikan keuntungan dan jaminan hidup yang lebih baik, para nelayan akan mendukung. Oleh karena itu, pihaknya menilai gugatan itu tak perlu lagi dilanjutkan.
“Tidak perlu lagi lanjutkan gugatan ke kasasi. Kami ingin hidup sejahtera dan LSM jangan ikut campur karena tidak memberikan pengaruh yang nyata buat warga,” katanya.
Saat ini, situasi dan kondisi warga Muara Angke juga lebih tenang setelah adanya komitmen dari pengembang untuk masyarakat sekitar. Khafidin berharap situasi ini bisa terus terjadi sehingga tidak menimbulkan keresahan seperti beberapa waktu lalu. “Karena pihak luar tidak perlu ikut campur, karena untuk apa juga mereka ikut campur,” ujar dia.
Melihat aturan yang ada, kasasi kasus reklamasi memang tampak janggal. Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung, putusan banding PTUN hasil kebijakan pemerintah daerah, putusan praperadilan, dan pidana dengan penjara atau denda di bawah satu tahun tidak bisa kasasi.
Sebelumnya, pengacara dari LBH Jakarta sekaligus kuasa hukum nelayan, Tigor Hutapea, mengatakan sejumlah nelayan di ibu kota mengajukan kasasi perkara gugatan izin reklamasi Pulau G atas putusan banding PTTUN Jakarta yang mengalahkan nelayan. Permohonan kasasi disampaikan para nelayan kepada Mahkamah Agung melalui kuasa hukum mereka.
Sumber: Tribunnews