Tony Richard Alexander Samosir: Semangat Berkobar Benahi Indonesia yang Tak Ramah Pasien Gagal Ginjal

Melihat dan merasakan kecurangan, serta ketidakadilan pada saat melakukan pengobatan dan proses cuci darah di sebuah klinik hemodalisa di bilangan Jakarta, Tony Richard Alexander Samosir bersama seorang temannya, Petrus Harianto makin mantap mendirikan sebuah Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia atau disingkat dengan KPCDI.

Komunitas ini dikatakan Tony—begitu ia biasa dipanggil, berawal dari sebuah forum komunikasi sesama pasien cuci darah di Rumah Sakit Hemodalisa Jakarta Kidney Center (JKC). Forum ini dibentuk untuk menghimpun para pasien gagal ginjal kronik dan cerita mereka, serta berbagi informasi sesama pasien. Didirikan resmi pada 2015 dalam peringatan Hari Ginjal Sedunia yang jatuh tiap 15 Maret, komunitas ini tak hanya punya fungsi untuk jadi tempat orang-orang senasib sepenanggungan, melainkan memberikan edukasi soal penyakit gagal ginjal, advokasi dan pengawasan peraturan atau regulasi pemerintah yang merugikan pasien gagal ginjal di Indonesia.

“KPCDI mulai mengkritik dan memberi masukan kepada pemangku kebijakan publik. Baik lewat media sosial atau secara langsung melayangkan protes dan meninjau lapangan, mengeluarkan statement ke media massa dan juga melobi anggota parlemen. Jadi kami ada andil dalam penyusunan regulasi,” ujar Tony.

Awalnya Tony mengaku tak sama sekali punya niatan untuk mendirikan komunitas ini, pasalnya pria asli Sumatera Utara ini berpikir, orang dengan gagal ginjal punya hidup yang sangat terbatas dan hanya bergantung pada mesin cuci darah, sehingga untuk mengatur sebuah komunitas rasanya tak mungkin. Pikirnya kala itu, para pasien ini hanya butuh dukungan atau support untuk tabah melewati proses cuci darah yang mengabiskan waktu.

Gaya Hidup Buruk dan Hipertensi

Tony divonis mengidap gagal ginjal pada 2009. Kala itu ia merasa ini kiamat dalam hidupnya, pasalnya ia langsung terbayang soal kehidupan yang bergantung pada alat cuci darah yang hidupnya sangat terbatas.  Alhasil ia menolak keras perkataan dokter, ia tidak mau menerima keadaan, dan tidak melakukan cuci darah hingga ia mengalami kelebihan cairan dalam tubuhnya. Dari situlah kemudian ia mulai sadar dan bangkit memeriksaan keadaannya dan melakukan cuci darah di klinik hemodalisa. Tak hanya itu, ia juga rajin cari tahu soal penyakit yang ia derita di berbagai sumber.

Ketika ditanya mengapa ia bisa divonis kena gagal ginjal, pria yang berprofesi dibidang geospasial atau bidang pemetaan permukaan bumi di salah satu perusahaan multinasional di Indonesia ini mengaku punya kebiasaan atau gaya hidup yang tak baik semasa kuliah dan kerja. Semasa kuliah, ia kerap kali tidur larut/begadang dan punya pola makan yang tak teratur. Gizinya juga tak ia perhatikan. Tak sampai disitu saja, seusai kuliah, ia mesti bekerja di Jakarta dan berbaur dengan gaya hidup karyawan kantoran yang tak sehat.

“Saya nggak peduli sama kesehatan kala itu. pulang malam, makan malam nggak sehat, lingkungan nggak sehat. Akhirnya saya kena hipertensi. Dan dari situ lama-kelamaan ginjal saya rusak karena keseringan diasinkan (makan-makanan asin),” jelasnya.

Alhasil, ia harus menjalani tujuh tahun proses cuci darah. Dan pada Maret 2016, ia berhasil melakukan transplantasi ginjal. Ia pun kini menjaga pola makannya, rutin mengonsumsi obat dan aktif mengurus KPCDI, menyuarakan hak-hak pasien dan melakukan pengawasan ke beberapa rumah sakit dengan fasilitas cuci darah. Ia dalam komunitasnya juga mengedukasi orang soal gagal ginjal dengan memposisikan dirinya sebagai contoh buruk yang tak patut ditiru.

Dampak Bagi Tony dan Para Pasien

Meski baru berdiri selama satu tahun, pendirian KPCDI ini diakui Tony cukup berdampak, baik untuk diri sendiri, maupun para pasien gagal ginjal lainnya. Ia mengatakan, mengatur dan memimpin komunitas yang baru satu-satunya di Indonesia ini cukup membuka matanya. Apalagi setelah melihat ketidakadilan dan kecurangan di unit-unit hemodalisa di rumah sakit, semangatnya makin berkobar membela kebenaran dan hak-hak pasien. Pengetahuannya soal penyakit ini dan segala hal tentang hukum dan regulasi juga bertambah.

Tambahnya, “Kepekaan saya juga makin terasah karena melihat orang-orang disekitar yang kesulitan. Nah, maka itu, di komunitas ini saya dan teman-teman punya program uang kas. Uang ini digunakan untuk bantuan biaya pengobatan atau perawatan pasien gagal ginjal yang membutuhkan. Ya, bahu-membahu lah.”

Tak hanya itu, berkat kehadiran KPCDI dan aksi-aksi nyata yang nyaring disuarakan,  sejumlah regulasi yang merugikan mulai ditinjau kembali oleh pemangku kepentingan dan pembentuk regulasi. Akses obat-obatan dan cuci darah dengan BPJS contoh kasusnya. Dari pertaturan yang ditetapkan BPJS, para pasien gagal ginjal hanya bisa melakukan cuci darah sebanyak dua kali dalam satu minggu. Jumlah yang dibatasi ini tentu makin mempersulit pasien dan justru mengancam kehidupan penderita gagal ginjal yang tergantung pada mesin.

Tambahnya, “Dan ini juga berbahaya, banyak klinik hemodalisa yang tak rutin menggani tabung cuci darahnya, alhasil banyak pasien yang terjangkit hepatitis. Lihat betapa kacaunya.”

Berkat KPCDI, kini sejumlah rumah sakit yang bermain curang pun kini sudah mulai hati-hati ketika melakukan kecurangan kata Tony. Para rumah sakit ini mulai merasa diawasi oleh KPCDI.

PR yang Harus Diselesaikan

Pria kelahiran 1983 ini optimis apa yang ia dan teman-temannya lakukan, lambat laun membawa dampak perubahan yang lebih baik untuk para pasien dan juga sistem kesehatan di Indonesia. Ia percaya kedepannya KPCDI dapat membawa Indonesia jadi negara yang jujur dan ramah pasien gagal ginjal.

Namun untuk sampai pada tahap itu, Tony dan kawan-kawan mesti membereskan PR yang sangat sulit, yakni kecurangan-kecurangan yang masih marak di tubuh kesehatan ginjal Indonesia, mulai dari pembuat kebijakan/regulasi dan pelaku kesehatan, seperti dokter serta unit hemodalisa di rumah sakit di Indonesia.

“Bukan hanya itu saja, masalah edukasi masyarakat juga jadi PR penting KPCDI, jual beli organ ginjal ilegal, sampai penyediaan tenaga medis khusus ginjal. Ini yang menjadi tantangan buat saya dan teman-teman KPCDI,” tutup Tony.

Dokumentasi: Tony Richard Alexander Samosir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *