Utami Dwi Kania: Lari dari Rutinitas dan Kenyataan lewat Seni Teater di Rumah Pijar

Setelah lulus kuliah manajemen keuangan di Politeknik Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Utami Dwi Kania, langsung masuk dunia kerja. Ia duduk di bagian administrasi keuangan di sebuah lembaga kemanusiaan bernama PKPU. Kesehariannya ia akui cukup membosankan, masuk pagi kemudian pulang sore, dan mesti bergelut dengan laporan-laporan keuangan yang penuh dengan angka-angka memusingkan.

Rutinitas yang membuatnya bosan setengah mati ini kemudian mendorong memori dunia perkuliahan yang menyenangkan miliknya menyembul ke permukaan. Ia jadi ingat masa-masa menyenangkan ketika ia dan teman-temannya sibuk ikut unit kegiatan mahasiswa seni peran di kampusnya.

Singkat cerita, ia kemudian menghubungi kelima temannya, yakni Habib Abdilah, Mega Merdiana, Suprianto Ari, Annisa Noviani dan Fajar Sidiq Aprianto untuk berbincang-bincang. Dan ternyata, kelima temannya juga punya kerinduan yang sama dengan Tami –begitu ia biasa dengan dipanggil. Tanpa pikir panjang enam anak muda ini kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah wadah kreativitas yang mereka beri nama ‘Rumah Pijar’.

“Kami berenam ini memang akrab karena satu UKM Teater kampus, kami semua sudah kerja posisinya waktu itu, namun ada 2 orang yang belum selesai kuliah. Dan kemudian saat ngobrol-ngobrol di rumah salah satu dari kami, tercetuslah ajakan membuat komunitas,” tambah perempuan kelahiran 1991 ini.

Didirikan resmi pada Januari 2013, komunitas seni kreatif, khusunya seni peran dan pembuatan film pendek ini punya filosofi yang dalam di balik namanya. Dikatakan Tami, kata ‘Rumah’ punya makna tempat yang nyaman, sementara ‘Pijar’ artinya percikan cahaya atau sinar.

“Jadi ‘Rumah Pijar’ ini tidak hanya jadi wadah/rumah berkumpulnya anak-anak muda berkarya secara kreatif saja, melainkan memancarkan manfaat kepada banyak orang, atau berpijar,” tukas Tami.

Meski sudah berusia empat tahun, berbagai kendala setia menghadang, misalnya kurangnya jumlah anggota yang membuat mereka cukup kewalahan ketika pentas besar tiba. Kata Tami, semuanya akan pegang 3-4 pekerjaan sekaligus dalam semalam. Selain itu, tantangan juga datang dari tidak adanya tutor yang mengarahkan mereka, sehingga sampai detik ini mereka masih mandiri dan saling berbagi pengetahuan yang mereka dapatkan dari berbagai sumber, seperti youtube dan pertunjukan-pertunjukan teater lainnya.

Tambah perempuan asli Jakarta ini, “Masalah pembagian waktu juga masih jadi kendala, pasalnya rata-rata anggota semuanya sudah bekerja dan untuk mensiasatinya, kami mengatur pertemuan rutin tiap akhir pekan.”

Akan tetapi rasa kewalahan diterjang Kendala demi kendala tak sebanding dengan apa yang didapat Tami di Rumah Pijar.  Kata Tami, berkat komunitas ini ia makin punya banyak pengalaman dari dunia seni peran yang telah ia kagumi sejak masih kecil. Pengetahuan dan wawasan, serta jaringan pertemanannya juga bertambah dan meluas.

“Lebih dari itu, aku bisa lari dari rutinitas yang membosankan di tempat kerja, pasalnya setiap ketemu teman-teman dan beraktivitas di ‘Rumah Pijar’, aku bisa menumpahkan kejenuhanku, kebosananku, dan rasanya bebas sekali. Ya menumpahkan emosi dan ekspresi lah istilahnya,” ujar Tami sambil tertawa kecil.

Bahkan dampak itu juga dirasakan orang-orang sekitarnya lewat komunitas ini. Tami menceritakan bahwa teman-teman yang bergabung dengan ‘Rumah Pijar’ semangat mengeksplor bakat dan keahlian mereka, sehingga orang-orang yang tadinya pemalu dan tertutup, berubah menjadi orang yang terbuka dan luwes dalam pergaulan.

Tami yang duduk di bangku humas komunitas ini berharap, kedepannya ‘Rumah Pijar’ dapat menghimpun lebih banyak lagi anak muda untuk bergabung bersama mereka. Ia juga berharap ‘Rumah Pijar’ akan memiliki seorang tutor atau pelatih yang dapat mengarahkan dua divisi yang komunitas ini miliki, yakni ‘Teras Pijar’ dan ‘Dapur Pijar’ atau divisi teater Pijar dan divisi pembuatan film pijar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *