Meriahnya Jambore Perdana Kaum Difabel di Yogya

Ada kemeriahan di Gedung eks KONI DIY, Museum Sonobudoyo, Kota Yogyakarta. Perhelatan Jambore Difabel Istimewa 2016 digelar perdana di sana selama dua hari, yakni 12-13 November 2016.

Kegiatan yang baru pertama kali diadakan di Indonesia ini diinisiasi Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Melibatkan lebih dari 2.000 penyandang disabilitas dari 20 komunitas difabel di DIY, antara lain Deaf Art Community, SAPDA, Difabel and Friends Community, dan BS Mardi Wuto.

“Lewat kegiatan ini ingin mengakomodasi para penyandang disabilitas yang ingin berekspresi dalam bidang budaya dan seni,” ucap Guntur Prabawanto selaku Ketua Panitia Jambore Difabel Istimewa 2016, Sabtu, 12 November 2016.

Menurut dia, selama ini para penyandang disabilitas masih mengembangkan dirinya secara personal dalam hal budaya dan seni. Dengan demikian, melalui Jambore Difabel, mereka dapat menggali potensi dan lebih semangat dalam berkarya karena bertemu dengan sesamanya.

Negara, tutur dia, seharusnya tidak hanya terlibat dalam memberi ruang berkarya, melainkan juga membantu mengembangkan potensi para penyandang disabilitas.

Guntur menguraikan rangkaian kegiatan jambore dibuka dengan pawai para penyandang disabilitas dari Kepatihan Kompleks Kantor Gubenur DIY sampai Museum Sonobudoyo, pameran seni rupa karya penyandang disabilitas.

Ada sekitar 200-an karya yang dipamerkan. Selain itu, juga ada pameran kerajinan yang juga diproduksi oleh penyandang disabilitas, workshop, pentas seni, dan sarasehan.

“Lewat kegiatan ini para difabel juga bisa saling bertukar jaringan dan memperluas pertemanan,” ujar dia.

Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Jogja mencatat terdapat 35.189 penyandang disabilitas di kota ini. Sekitar 4.100 orang di antaranya adalah penyandang tunanetra.

Salah satu peserta jambore, Endang Sundayani (39) memamerkan dan menjual hasil karya rajutnya, mulai dari sepatu, tas, sampai gantungan kunci.

Perempuan yang menggunakan kursi roda ini mengaku baru satu tahun menekuni usaha rajut. Semula, ia hanya iseng belajar merajut di Komunitas Mata Aksara, yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.

“Kalau sepi job biasanya saya isi dengan merajut,” kata Endang yang sehari-hari juga berprofesi sebagai presenter televisi dan pembawa acara (MC) ini.

Mayoritas, kata dia, rajutan yang dibuatnya berdasarkan pesanan, sehingga untuk omzet rutin belum dapat dihitung secara pasti. Sepasang sepatu rajut, misalnya, dia jual dengan harga Rp 125 ribu hingga Rp 150 ribu.

Perempuan kelahiran Jawa Barat ini mengapresiasi kegiatan Jambore Difabel Istimewa 2016 di Yogyakarta, supaya tidak lagi dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Mereka juga bisa berdaya dan menunjukkan kemampuan serta mengembangkan potensi diri.

Sumber: Liputan 6

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *