Jalan Panjang Menuju Kota Musik yang Ideal

Perkembangan musik di Bandung belum menjadi kekuatan ekonomi. Padahal, Bandung dan musik ibarat satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Hal itu dipaparkan oleh Gustaff Hariman Iskandar di forum Independent Music Conference 2016 yang digelar di Balai Kota Bandung, Sabtu, 26 November 2016. Omongan Gustaff bukan tak berdasar. Menurut penelitian yang ia lakukan di Commonroom Network Foundation -sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang ekonomi kreatif Kota Bandung- sejak 2006 sampai 2015, musik tak masuk peringkat tiga besar dalam kekuatan ekonomi kreatif Kota Bandung. Selama ini ekonomi kreatif Kota Bandung masih didominasi oleh fesyen, kuliner, dan kerajinan tangan.

“Musik memang belum jadi bisnis. Paling cuma berapa persen dari 2,4 juta penduduk Bandung yang memang hidup dari musik,” kata Gustaff.

Dia malah berseloroh jika pemusik di Bandung jauh dari bayang-bayang rockstar. Alih-alih menjadi bintang panggung, musisi di kota berjuluk Europe en de Tropen ini malah tak jauh berbeda dengan kuli.

“Memang begitu adanya (musisi seperti kuli). Enggak ada rockstar-rockstarnya,” ucapnya.

Gustaff lantas memberikan sejumlah contoh. Menurutnya, meski DNA Bandung dengan musik sangat dekat, sejak dulu musik memang belum bisa menjadi mata pencaharian yang menjanjikan. “Dulu ada Majalah Aktuil (majalah musik yang berbasis di Kota Bandung) oplahnya 126.000 eksemplar. Besar. Tapi secara keuntungan mah enggak ada,” ucapnya.

Dia pun menduga di kota ini, musik memang dicintai tapi belum jadi kekuatan ekonomi. Talenta yang ada dan tersebar di setiap sudut Kota Bandung baru sebatas hobi.

“Bisa jadi pengelola ekonominya belum ada. Isunya lagi-lagi di tata kelola. Ekosistemnya,” ucapnya.

Meskipun demikian bukan berarti perkembangan musik di Kota Bandung menjadi statis. Saat ini diakuinya ekosistem semakin baik. Adapun momentum yang membuat pergerakan ekonomi kreatif di Bandung mulai merangkak pesat termasuk musik sebagai subsketornya adalah tragedi AACC di tahun 2008 silam.

“Prosesnya memang panjang. Kulminasinya di 2007 sampai 2008 itu. Kemudian ada KICKfest, Helarfest,” ucapnya.

Dia juga menegaskan meski belum menjadi kekuatan ekonomi, musik dan pelakunya tetap berkontribusi. Pasalnya, pelaku fesyen, kuliner, dan kerajinan di Bandung tak jarang berasal dari lingkungan “anak band” itu sendiri.

“Narasi kolektif di Bandung itu musik. Dia jadi perekat bagi banyak hal dan mempertemukam desain, fesyen,” ucapnya.

Fiki Satari, dari Bandung Creative City Forum menuturkan sebenarnya saat ini panggung bukan masalah yang besar dalam pengembangan musik di Bandung. Dia yang menjabat sebagai Ketua Karang Taruna Kota Bandung menuturkan Pemkot telah memfasilitasi sehingga banyak acara yang digelar di Bandung.

“Dari tingkat RW, Kelurahan, Kecamatan. Di Bandung itu ada 2.000-an panggung. Kalau di setiap RW ada satu panggung saja sudah ada 1.561 RW di Bandung,” kata Fiki.

Kendati demikian diakui Fiki, perkembangan itu memang masih organik. Perlu kolaborasi lagi yang lebih dengan para pegiat musik di Kota Bandung. “Kalau 17-an saja sekarang stage sudah bagus. Tinggal kontennya yang masih perlu disempurnakan,” ucapnya.

Bambang Sugiharto, dari Universitas Parahyangan menuturkan sejak lama musik di Indonesia memang baru dipandang sebagai dekorasi semata. Eksplorasi mereka masih banyak berkutat di sisi teknik tetapi minim mengolah bentuk baru dari musik tersebut. “Segala jenis musik berkembang dengan bagus, tapi levelnya masih pop. Saya berharap lebih art, lebih serius. Ekspolarasinya bisa dari alat atau harmoni,” kata Bambang.

Selain itu pendidikan musik juga hendaknya tidak dibatasai. “Perlu dikenalkan gaya-gaya musikal dari jenis musik lain dan historis serta filososif,” ucapnya.

Sementara itu, Theresia Ebenna Ezaria, dari Sisterhood Gigs yang juga menjadi pembicara dalam konferensi ini menuturkan, sejak awal musik memang masih dideskriditkan dalam pendidikan. Belum ada ruang yang cukup bagi anak untuk mendalami musik.

“Bukan hanya itu, harus ada pembelanjaran untuk mengelola musik. Selain artis ada pengelola, penyelenggara, dan penerbit karena kita juga butuh promosi,” ucap Tere.

Sumber: Pikiran Rakyat

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *