The Man Who Knit; “Siapa Bilang Hanya Perempuan Yang Bisa Merajut?”

Semua berawal dari bergabung dengan klub rajut di Tobucil (Toko Buku Kecil) Bandung pada 2006. Erri, Mulyana, Wiku, Sam, Rudi, dan Adi adalah para pria yang belajar merajut di bawah asuhan klub rajut Tobucil.

“Awalnya karena dulu ikut klub rajut di Tobucil Bandung. Sekitar 2006 kalau nggak salah. Dari cuma satu dua orang, hingga ada lima orang aktif. Lalu makin ramai,” ujar Erri Nugraha di Artphoria, Jakarta Selatan, Minggu (26/1).

Mulanya mereka dianggap lucu karena tak biasa dengan pemandangan lelaki merajut. Oleh beberapa teman mereka kerap dipanggil lelaki yang merajut. Panggilan tersebut kemudian dialihbahasakan menjadi The Man Who Knit.

“Lalu setelah beberapa kali diliput media, nama The Man Who Knit makin lama makin melekat,” papar Erri.

Berbeda dengan kelima teman sehobinya, merajut bukanlah hal baru bagi Erri. Saat masih SMA, kini sudah bekerja, Erri diajari merajut oleh ibunya. Namun ia belum cakap saat itu.

Erri baru benar-benar cakap merajut saat bergabung dengan klub rajut Tobucil. Ia belajar dari dasar. Untuk yang paling sederhana adalah membuat syal dan topi kupluk.

Sedangkan bagi Mulyana, merajut adalah dunia baru. Ia yang lulusan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesa angkatan 2005 masih sangat asing dengan rajut-merajut. Merajut dan seni rupa adalah dua hal yang jauh berbeda.

Sama seperti Erri, membuat syal dan kupluk adalah dua latihan dasarnya dalam merajut. Alasan lain, dua barang tadi cocok dengan suhu Bandung yang sejuk. Terutama di Bandung Utara tempat Mul tinggal. Alasan mulai belajar merajut sederhana, ingin bisa membuat sendiri suatu barang.

“Saya ingin bisa bikin sesuatu sendiri, tidak beli. Pertama kali merajut udah enak dapat feeling-nya, senang dari awal,” kata Mul.

Erri pun sama, bermula dari keinginan membuat kupluk sendiri. Bagi pemula butuh waktu hanya satu minggu untuk bisa membuat syal dan kupluk.

Bahkan untuk bisa paham teknik dasar merajut pun cukup belajar selama 15 menit. Untuk ke tahap selanjutnya, ditentukan seberapa tekun latihannya.

Bagi Mulyana, ia baru benar-benar cakap merajut saat membantu membuat sebuah buku merajut. Oleh sebab itu, ia terpaksa belajar lebih dalam hingga pada akhirnya ia makin andal.

Di Bandung, mereka biasa berkumpul di Tobucil. Namun di Jakarta tak bisa seperti itu. Faktor penghambat utama adalah kesibukan masing-masing.

“Sebenernya kami ini dibilang komunitas sih enggak juga. Kumpul enggak rutin. Paling kalau ada masalah pas lagi merajut, baru ke rumah siapa gitu. Jadi bukan yang sengaja kumpul terus merajut bareng,” jelas Erri.

Karena sekedar hobi, tak terpikir untuk membuat hobi merajut jadi sebuah penghasilan utama. Toh, sebagian besar karya rajutan bisa dikerjakan oleh mesin.

“Dari awal memang ini hobi ya. Jadi tak ada yang benar-benar serius membisniskan. Apalagi bikin rajutan kan lama. Kami bikin ya kalau lagi mau bikin, lagi senggang. Kalaupun ada lainnya itu pun pesanan,” jelas Erri.

The Man Who Knit kini lebih menyebar virus merajut. Tak terbatas gender dan lokasi. Salah satu caranya adalah menerima ajakan workshop merajut.

Cara lain adalah membagi gambar hasil karya dan video tutorial merajut di blog TheManWhoKnit.blogspot.com. “Kalau kumpul waktu tertentu misal bikin video. Kami ingin menyebar virus merajut saja. Ya salah satunya agar stigma merajut cuma untuk cewek itu berubah. Cowok juga bisa kok,” ujar Erri.

Sumber: BeritaSatu

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *