SBMI Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Buruh Migran Indramayu

Memperingati Hari Buruh Migran Internasional (Migran Day), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Indramayu melakukan aksi unjuk rasa di kantor Dinsosnakertrans dan gedung DPRD Kabupaten Indramayu serta kantor kepolisian.

Mereka menuntut agar legislatif dan eksekutif memperhatikan nasib para buruh migran seperti yang diamanatkan Undang Undang No 6 Tahun 2012 tentang perlindungan hak-hak buru migran dan anggota keluarganya.

Dalam aksinya, masa aksi melakukan konvoi ke sejumlah instansi dengan menggunakan kendaraan sambil membentangkan sejumlah spanduk besar yang bertuliasan adili dan lindungi nasib para buruh migran.

“Berdasarkan data BNP2TKI secara nasional, Indramayu adalah kabupaten pengirim buruh migran terbesar kedua setelah Lombok Timur, dengan jumlah mencapai 15.128 buruh per November 2016. Masih dari data BNP2TKI, jumlah buruh migran asal Indramayu juga yang paling banyak mengalami kasus dengan jumlah mencapai 249,” ungkap Ketua SBMI, Kabupaten Indramayu, Juwarih.

Dia mengatakan, jumlah buruh migran yang mencapai angka 15.128 tersebut merupakan data buruh migran yang terdata. Pihaknya pun tidak  memungkiri bahwa banyak buru migran asal Indramayu yang tidak terdata, bahkan diperkirakan mencapai dua kali lipat lebih banyak dari jumlah yang terdata.

“Di tahun 2016, SBMI Indramayu  menemukan ada 32 kasus yang ditempatkan ke Malaysia dan Irak yang tidak terdaftar di pemerintah serta ratusan korban pemagangan ke Jepang yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah bekerjasama dengan calo,” ujarnya.

Ditambahkanya, data ini menunjukkan bahwa mekanisme penempatan dan perlindungan buruh migran dari hulu (daerah) masih sangat lemah, sehingga memungkinkan terjadinya penempatan secara tidak prosedural dan buruh migran menjadi korban perdagangan orang.

Oleh karena itu, lanjut Juwarih, Pemerintah Kabupaten Indramayu harus memprioritaskan penerbitan Perda Perlindungan Buruh Migran Indramayu dalam program legislasi daerah (Prolegda) tahun 2017, yang memberikan layanan perlindungan pada pra penempatan, masa dan purna penempatan, sebagai bukti keberpihakan kepada buruh migran Indramayu yang tiap tahunnya mengirim uang (remitansi) hingga Rp 800 miliar. Jumlah yang sangat besar 160 kali lipat jika dibanding dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Indramayu yang hanya Rp 5,7 miliar.

Pihaknya berharap agar pembuatan perda tersebut lebih menekankan pada pelayanan perlindungan seperti misalnya penyediaan layanan informasi di desa-desa yang merupakan kantong buruh migran. “Bentuknya bisa macam-macam online maupun offline, yang offline itu misalnya poster-poster, pamphlet atau buku-buku, sehingga informasi tidak lagi dari para calo yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan menyesatkan,” jelasnya.

Selain itu, kata Juwarih, perda ini juga harus menjamin agar penempatan berbiaya murah. Salah satu komponen biaya yang paling mahal saat ini adalah biaya pelatihan yang besarannya mencapai Rp 8 juta. “Jumlah ini bisa ditekan jika Pemkab Indramayu merevitalisasi balai latihan kerja untuk calon buruh migran. ini juga berdampak pada peningkatan keterampilan calon buruh migran, jika dibandingkan dengan balai latihan kerja yang dikelola oleh PPTKIS/PJTKI yang hanya sekadar formalitas saja,” ungkapnya

Pihaknya pun dalam kesempatan itu menkritisi kinerja Dinas Tenaga Kerja Indramayu, dimana pihaknya meminta agar dinas ketenagakerjaan bisa menjamin adanya penandatanganan perjanjian penempatan antara calon buruh migran dengan PPTKIS/PJTKI. Berdasarkan pengaduan yang masuk ke SBMI Indramayu, tidak ada satupun buruh migran yang memiliki dokumen penting yang mengatur hak dan kewajibannya.

“Kondisi ini menggambarkan bahwa PPTKIS/PJTKI telah mengabaikan wewenang Dinas Ketenagakerjaan, jika tidak maka Dinas Ketenagakerjaan sudah kecolongan dalam memberikan perlindungan pra penempatan,” katanya.

Dari segi penempatan, lanjut Juwarih, Dinsosnaker juga harus memberikan perlindungan dengan layanan pengaduan dan tindak lanjutnya, baik kepada polisi, BNP2TKI, Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Luar Negeri.

Sementara itu, pasca penempatan, perda juga harus memberikan kewenangan kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja untuk memberdayakan mantan buruh migran tanpa ada diskriminasi, terutama mantan buruh migran yang pernah mengalami permasalahan. “Tidak boleh ada pembedaan, menerima pengajuan pemberdayaan dari salah satu organisasi dan menolak pengajuan dari organisasi lain,” tegasnya.

Sumber: Fajarnews.com

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *