Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dinilai lamban dan sama sekali tidak menyentuh akar masalah.
“Dari aspek substansi, rumusan pasal-pasal dalam RUU dan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM), masih belum menjawab masalah-masalah yang dialami pekerja buruh migran,” kata Presidium Nasional KK Buruh Migran Nadlroh As Sariroh, dalam diskusi di Jakarta, Minggu (18/12/2016).
Masalah pertama, lanjut Nadlroh, adalah perdagangan orang melalui jalur rekruitmen dan penempatan buruh migran.
Menurut dia, jumlah buruh migran yang menjadi korban perdagangan orang terus meningkat dan mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan serta eksploitasi.
Kedua, masih kata Nadlroh, tidak adanya jaminan akses terhadap keadilan bagi buruh migran.
Banyak buruh migran dan calon buruh migran harus berhadapan dengan hukum karena berbagai alasan, seperti pembatalan sepihak kontrak kerja, kekerasan, eksploitasi dan tindak pidana lainnya.
“Namun buruh migran tidak mendapatkan bantuan hukum saat mereka harus berhadapan dengan hukum di negeri orang,” ucap Nadlroh.
Ketiga, adalah kerentanan kehilangan kewarganegaraan. Resiko kehilangan kewarganegaraan ini tidak hanya mengancam buruh migran, tetapi juga anak-anak mereka.
Ini disebabkan karena kebanyakan buruh migran tidak mengetahui syarat dan prosedur untuk mempertahankan kewarganegaraan mereka, berdasarkan UU Kewarganegaraan.
Masalah keempat, adalah perlindungan bagi pekerja buruh migran belum inklusif, yakni buruh migran yang bekerja di sektor konstruksi, perkebunan, perikanan dan pelayaran.
Sifat dan lingkungan pekerjaan di sektor tersebut membuat buruh mengalami berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi.
Masalah kelima, adalah pungutan liar dan pemotongan gaji secara ilegal yang dimunlai sejak proses rekrutmen.
“Sebagian besar buruh migran mengalami pungli sejak proses rekrutmen hingga penempatan di luar negeri. Di samping itu, buruh migran juga mengalami pemotongan gaji secara ilegal selama tiga sampai sembilan bulan,” ucap Nadlroh.
Dengan berbagai masalah yang ada itu, Koalisi Perempuan Indonesia mendorong agar masyarakat dan seluruh stakeholders berpartisipasi dalam pembahasan RUU PPMI ini.
Nadlroh menilai pembahasan RUU tersebut antara DPR dan pemerintah selama ini cenderung tertutup sehingga hasilnya tidak sesuai harapan banyak pihak.
“Kita ingin kepastian agar pembahasan RUU PPMI ini akan selesai pada tahun 2017,” tambah Nadlroh.
Sumber: Kompas