Rasa-rasanya tidak banyak yang seberani Ales Saragi. Coba bayangkan, pria asli Sumatera Utara ini rela berhenti dari pekerjaannya dan kemudian fokus menolong anak-anak jalanan dan marjinal untuk mendapat penghidupan layak dan terpenuhi hak-haknya, melalui komunitas yang ia bangun bersama teman-temannya yaitu “Sahabat Anak”.
Didirikan pada tahun 1997 silam, yayasan ini ia bentuk bersama kedelapan temannya dari beberapa universitas disekitar UI ketika masih jadi mahasiswa FISIP disitu. Latar belakang pembentukannya adalah keprihatinan Ales dan kawan-kawan melihat anak-anak korban krisis moneter yang putus sekolah karena masalah ekonomi yang menyerang banyak keluarga saat itu.
Tambahnya seraya mengingat-ingat, “Saat itu kami melihat banyak yang turun ke jalanan karena krismon waktu itu. Ya, rata-rata mereka itu korban PHK, jadi mau nggak mau cari uang di jalan. Kasihan anak-anak yang jadi korbannya.”
Berdasar keprihatinannya tersebutlah, Ales kemudian mencari cara menolong mereka selain memberikan sumbangan dalam bentuk materi. Karena pikirnya, uang bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Untuk itu, ia dan kawan-kawannya kemudian mengadakan kegiatan Jambore Anak Jalanan atau JAJ. Kegiatan yang jadi langkah awal komunitas ini diikuti sebanyak 200 anak dari berbagai daerah di Jakarta, mulai dari anak-anak Blok M, Kota, Cililitan, Pedongkelan, dan Cikini. Dalam kegiatan yang bertema “Manusia Gambar Allah” ini mereka dihibur dengan beragam kegiatan, salah satunya permainan. Selain itu, kegiatan ini juga dibuat untuk mempertemukan anak-anak jalanan dengan orang-orang yang peduli dengan mereka, yakni masyarakat dan mahasiswa dari berbagai universitas.
“Dalam jambore yang bertepatan dengan hari anak nasional ini kami juga punya concern untuk melibatkan masyarakat untuk jadi relawan. Dan dalam kegiatan ini kami juga memberikan semangat kepada anak-anak dan menekankan kepada mereka kalau mereka ini adalah anak-anak yang spesial. Meski nggak sekolah dan kurang beruntung, anak-anak ini juga berharga,” ujar Ales.
Kegiatan jambore yang tak disangka membawa kebahagiaan untuk banyak anak ini kemudian dilaksanakan rutin setiap tahunnya oleh Ales dan kawan-kawan. Tak hanya itu, bahkan jambore ini menelurkan sejumlah kegiatan baru lainnya yang bermafaat untuk anak-anak jalanan dan marjinal hingga kini, mulai dari bimbingan belajar di rumah-rumah singgah, perpustakaan keliling, hingga pembagian nutrisi dan pengobatan gratis yang selalu melibatkan relawan dibaliknya. (Baca selengkapnya tentang Sahabat Anak di https://komunita.id/2016/03/28/sahabat-anak-perjuangkan-hak-hak-anak-marjinal-dan-anak-jalanan/)
Modal Nekat
Ales Saragi mengaku awalnya sempat berpikir dua kali sebelum berhenti dari pekerjaannya dan menghimpun perhatian penuh pada yayasan. Keluarganya juga sempat cemas atas keputusannya itu. Akan tetapi setelah memantapkan hati dan menjalankannya dengan komitmen serta suka cita, ia berhasil. Ia mengatakan, meski penghasilannya tak sebesar yang dulu, ia dan sang istri hingga kini saling support membangun keluarganya.
“Ini benar-benar yang namanya modal nekat. Meski pas-pasan saya dan istri saling mendukung. Bagi kami, ini nggak masalah asal senang dijalankan,” ujar ayah 3 anak ini.
Ketika ditanya mengapa harus berhenti dari pekerjaan, Ales mengatakan, harus ada yang full time mengurus yayasan dan para volunteer. Pasalnya ia menjelaskan, pekerjaan sosial seperti ini dasarnya adalah kepercayaan, sehingga perlu penanganan serius agar kegiatan terus berlangsung dan tepat sasaran. Bahkan setelah menduduki kantor sekretariat di bilangan Jakarta Pusat, yayasan ini mesti merekrut belasan staf untuk kelancaran aktivitas yayasan yang hingga kini sudah membina ratusan anak jalanan dengan rentang usia 3-18 tahun.
Lelah dan Bangkit Lagi
Ales tak menutup-nutupi perihal rasa lelahnya. Ini terbilang wajar, coba hitung saja, Ales sudah mondar-mandir berkegiatan dengan komunitas sejak tahun 1997, tentu saja ia pernah jenuh dan lelah. Ditambah lagi ia juga punya kewajiban jadi kepala keluarga. Bahkan saking sibuknya, 3 anaknya di rumah sempat terbengkalai.
Tambahnya, “Capek itu pasti. Saya pernah nanya, ini kenapa sih anak-anak nggak mau berubah. Sulit sekali diubahnya. Belum lagi urusan dengan orang tuanya. Banyak dari mereka yang lebih suka jika anaknnya turun ke jalan dan membantu mereka mencari nafkah. Padahal kan pendidikan itu penting dan bisa bangun karakter anak.”
Lantas apa yang membuat Ales terus bertahan hingga kini? Ia punya jawaban untuk itu dan jawaban-jawaban ini sepertinya akan membuat orang lain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ya, Ales mengaku ia semangat kembali ketika melihat perkembangan anak-anak yang ia bantu. Melihat Anak-anak ini bisa survive dari keterpurukan dan kembali lagi ke sini untuk memberi inspirasi kepada anak-anak lain untuk berjuang menempuh pendidikan supaya mendapat penghidupan yang layak.
“Saya puas sekali lihat bagaimana mereka berkembang dan berubah karakternya. Misalnya soal kecanduan internet, pornografi, tidak tepat waktu, gaya berbicara yang tidak sopan, semuanya perlahan-lahan berubah meski masih jadi PR besar bagi yayasan hingga kini. Saya juga punya kebahagiaan sendiri bisa jadi bagian perwujudan mimpi anak-anak. Dan ini yang bikin kita semua surprise, ternyata mereka balik lagi ke sini, berbagi cerita sukses mereka yang bisa menginspirasi anak lain,” cerita Ales.
Tak berhenti sampai disitu, dalam pembicaraan sore itu ia juga mengungkapkan, tiap kali lelah dan ingin memberi semangat kembali kepada relawan, Ales dan kawan-kawan akan melakukan pertemuan atau gathering bersama pengurus tuna ganda. Dalam gathering ini, mereka semua akan berbagi cerita dalam mengurus orang-orang dengan tuna ganda.
“Kegiatan ini membuka mata kita semua. Ternyata ada lho yang lebih susah dari kita. Baiknya kita nggak ngeluh dan nggak mudah putus asa. Mereka aja bisa kok bertahan dan sabar masa kita enggak,” tukas pria kelahiran 1973 ini.
Perjuangan Seumur Hidup
Jika melongok ke belakang sebentar, ke masa kecilnya, Ales memang punya latar belakang keluarga yang tidak mapan. Kedua orang tuanya adalah petani. Ia menceritakan, keluarganya dulu hidup bergantung dengan pertolongan orang lain. Bahkan saudara kandungnya harus tinggal di panti asuhan karena masalah ekonomi tadi.
Memang sebelumnya ia tak pernah terpikir untuk mendirikan komunitas apalagi sebuah yayasan. Yang ia inginkan kala itu hanya membantu orang lain karena ia merasa dirinya telah dibantu oleh orang lain dan Ia tak ingin ada orang yang bernasib sama dengannya.
Inilah yang masih setia ia perjuangkan hingga kini dan Ia terus berharap yayasan ini bisa terus berjalan membantu anak-anak dan bahkan menginspirasi banyak orang untuk terus membela hak-hak anak, khususnya dalam mendapatkan pendidikan. Tidak hanya anak-anak jalanan, anak-anak di pedalaman juga harus diperhatikan katanya.
Ketika ditanya mau sampai kapan berjuang, Ales menjawab ini merupakan kerja seumur hidup yang mesti dipertahankan terus karena hak anak belum sepenuhnya dipenuhi pemerintah. Namun bukan berarti Ales akan terus membimbing Sahabat Anak, ia mengatakan, akan ada waktunya ia menyerahkan tanggung jawab ini kepada orang lain.
“Akan tetapi perlu diingat, ini bukan kerja pemerintah saja, masyarakat juga punya peran penting dalam pemenuhan hak-hak anak. Kita harus bersama sama bantu mewujudkannya,” tutupnya.
Dokumentasi: Ales Saragi