Karina Adistiana & Ribut Cahyono: Tebarkan Manfaat dan Semangat Mendidik lewat Musik

Bagi kedua orang ini, musik bukan sekedar pelipur manusia dikala lara melanda. Bukan juga alat perang dalam persaingan di industri seni musik atau sebagai komoditas. Bagi mereka, musik adalah media atau alat pendidikan yang ternyata memiliki kekuatan menanamkan nilai positif kepada anak dan juga keluarga.

“Musik bukan sekedar susunan nada, melainkan sebuah alat yang powerfull. Musik bisa jadi alat komunikasi orang dewasa kepada anak dan alat perekat hubungan anak dengan orang tua lho,” ujar Karina.

Perkenalkan, kedua orang ini adalah Karina Adistiana dan Ribut Cahyono. Mereka adalah pasangan suami istri pendiri gerakan independen bernama Gerakan Peduli Musik Anak atau yang disingkat dengan Gerakan PMA. Gerakan ini tak memiliki anggota, hanya sepasang suami istri inilah yang mengurusnya. Ketika ditanya alasannya, Anyi menjelaskan, ia dan sang suami kesulitan bila harus menghimpun orang.

“Gerakan ini bukan komunitas. Ini idealisme kami sebenarnya. Kami nggak mau ribet dengan sistem, SDM, ya kami jalankan saya dengan enjoy dan mengalir begitu saja. Dan Ada makna filosofis dan pemahaman yang nggak bisa kita jelaskan ke orang lain. Oh ya, justru kita yang menyambangi komunitas, guru, dan orang tua,” jelas Karina.

Jika mendengar nama gerakan, kebanyakan orang pasti langsung mengira kalau gerakan ini dibuat khusus untuk anak-anak. Akan tetapi perkiraan itu salah, justru gerakan ini mereka tujukan untuk orang dewasa, seperti guru dan orang tua. Inilah yang jadi tantangan buat Anyi—begitu biasa ia dipanggil dan juga suaminya Ribut. Mereka masih kesulitan mengubah persepsi tentang gerakan ini.

Karina adalah seorang psikolog pendidikan. Ribut seorang musisi yang menciptakan lagu dan pernah jadi manajer sebuah band di 2008 silam. Gerakan ini mereka dirikan tepat di hari pernikahan mereka pada 8 Desember 2009 silam karena keduanya concern dengan pendidikan dan musik.

Jelas perempuan kelahiran 1982 ini, “Uniknya di pernikahan kami waktu itu kami sekalian resmikan gerakan ini dan kami juga membagikan 6000 keping CD musik untuk anak-anak buatan kami kepada para tamu lewat undangan yang kami bagikan,” ujar perempuan kelahiran 1982 ini.

Baca selengkapnya soal GPMA di sini https://komunita.id/2016/03/02/gerakan-peduli-musik-anak-dorong-orang-dewasa-memilah-dan-memilih-musik-untuk-anak-anak/

Thesis yang Batal Menua di Perpustakaan

Seperti yang disebutkan Anyi sebelumnya soal kekuatan musik. Tentu ia tak ‘asbun’ atau asal bunyi akan hal itu, pasalnya ia sudah melakukan penelitian soal kekuatan musik pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk tesisnya saat melanjutkan studi S2 psikologi pendidikan. Hasilnya fantastis, penelitian menunjukan musik dapat memancing respon anak berkebutuhan khusus dalam mengungkapkan keinginannya untuk makan. Artinya, musik punya kekuatan untuk memancing interaksi/respon anak.

Penelitiannya inilah yang sebenarnya jadi cikal bakal berdirinya gerakan. Setelah thesisnya selesai dan ia ditanyakan lulus, Anyi tak tinggal diam. Ia tak ingin thesisnya menua di rak-rak perpustakaan kampusnya. Untuk itu ia lanjutkanlah penelitiannya ini ke dalam gerakan yang ia pertahankan hingga kini bersama sang suaminya.

“Saya miris sebenarnya lihat penelitian yang numpuk di perpustakaan dan dianggap hanya bisa digunakan para terapis saja atau orang yang terkait. Padahal penelitian-penelitian itu bisa jadi aplikatif dan digunakan orang tua. Nah salah satunya ini, penelitian saya ini,” kata perempuan kelahiran 1982 ini.

Kisah Anyi dan Ribut

Jika melongok ke belakang, ada faktor lain yang sebenarnya juga mendorong Anyi dan Ribut mendirikan gerakan pendidikan lewat musik ini. Petama-tama Anyi. Perempuan asli Surabaya ini lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang sangat concern dengan pendidikan. Ibu dan ayahnya memiliki sebuah Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) atau BIMBEL sewaktu usianya masih sangat belia.

Anyi juga sering mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan banyak orang soal isu-isu pendidikan. Tak jarang ia juga terlibat diskusi dengan sang ayah sehingga tak heran ia semakin cakap akan isu-isu pendidikan, terutama soal sistem pendidikan di Indonesia. Dan akhirnya pada saat menempuh pendidikan tinggi, Anyi memilih untuk menempuh studi psikologi pendidikan.

Lain dengan sang suami. Ribut adalah seorang musisi dan pernah jadi manajer sebuah grup musik bernama Cozy Street Corner. Kata Anyi, Ribut sudah cakap mencipta lagu sejak usianya 9 tahun dan sudah sering ikut kompetisi kental bermusik saat masuk masa remaja, misalnya LCLR (Lomba Cipta Lagu Remaja) pada tahun 80-an. Bahkan tak hanya ikut kompetisi, karya-karyanya dalam kegiatan itu masuk ke babak semifinal.

Tambahnya, “Dan ia juga pernah jadi penyanyi untuk lagu ciptaan temannya yang masuk kaset Dasa Tembang Terbaik LCLR 87-88. Disitu dia satu kaset bareng Trie Utami.”

Selisih usia antar keduanya berbeda sangat jauh. Ribut lahir di tahun 1962, sedangkan Anyi di tahun 1982. Akan tetapi hal ini tak sama sekali menghalangi keduanya untuk menjalin kasih. Anyi bercerita disela-sela pembicaraan kemarin, keduanya bertemu di universitas tempat Anyi menempuh studi S2. Ribut bukan lagi mahasiswa disitu, melainkan sudah bekerja disitu. Keduanya bertemu saat pembentukan sebuah organisasi baru di kampus.

Semangat Melangkahkan Kaki Sambil Menyebarkan Manfaat

Mendirikan gerakan ini diakui Anyi makin membuka matanya soal pendidikan. Berkat berkegiatan dengan gerakannya ini dan bertemu banyak orang tua, guru, anak, dan remaja, ia jadi tahu fakta bahwa sebenarnya banyak orang tua yang melewatkan masa kecil anak yang begitu penting. Di masa-masa itu anak-anak seharusnya diajak berinteraksi dan ditanamkan nilai-nilai positif untuk bekal masa depannya.

“Ya pakai musik itu tanam nilai dan bangun interaksinya. Saya menyayangkan banyak orang tua yang melewatkan momen itu dan baru sadar saat anak-anak udah masuk usia remaja. Nah disaat itu sudah susah menanamkannya. Canggung pasti juga,” tukas Anyi menyayangkan.

Berkat hal itulah, Anyi dan Ribut makin semangat menyebarkan manfaat musik untuk para orang dewasa melalui gerakannya. Anyi menceritakan ia dan sang suami telah melangkahkan kaki ke beberapa daerah di Indonesia untuk membagikan manfaat musik kepada orang dewasa lewat pelatihan gratis. Mereka kebanyakan menyambangi sekolah dan para gurunya, serta mengajak mereka untuk membuat lagu untuk anak-anak yang sarat akan pesan positif seperti, lagu berisi pesan perdamaian, pencegahan kekerasan seksual, hingga proyek yang sedang mereka kerjakan saat ini, yakni lagu soal bencana dan bagaimana anak-anak harus mengantisipasinya.

Rejeki di Tangan Tuhan dan Harapan Anyi

Keliling Indonesia dan menyambangi beberapa daerahnya pasti memerlukan waktu banyak. Ketika ditanya soal kesibukan diluar mengurus gerakan, Anyi menjawab ia tak ada masalah membagi waktunya, karena keduanya tak punya pekerjaan tetap.

Tambahnya, “Saya nggak kuatir, soalnya rejeki itu di tangan Tuhan. Itu yang pertama. Lalu, saya juga kan psikolog pendidikan, jadi saya masih kadang mendapat job untuk memeriksa seleksi karyawan, tes minat bakat, dan lainnya. Lumayan lah itu. Suami juga pencipta lagu. Dia kan musisi. Ya pokoknya yang penting enjoy menjalani apa yang kita suka.”

Berkat idealisme keduanya itulah mereka tak terpikirkan kapan mereka akan berhenti menyebarkan manfaat lewat gerakannya ini. Mereka malah berharap bisa terus mengadakan kegiatan bersama gerakan ini, seperti pelatihan atau workshop gratis untuk orang dewasa, supaya metode pendidikan lewat musik ini makin aplikatif.

 

Dokumentasi: Karina Adistiana dan Ribut Cahyono 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *