Direktur Eksekutif LBH Jakarta Alghifari Aqsa menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) belum menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi dalam merumuskan setiap kebijakan. Dia pun menyampaikan sejumlah kritik.
“Pemerintah belum menjadikan hukum sebagai panglima. Pemerintah hanya fokus ke soal politik kekuasaan. Hal itu menyebabkan buruknya iklim demokrasi kita,” ujar Alghifari dalam sambutan rilis Catatan Akhir Tahun 2016 Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ‘Mundurnya Demokrasi dan Kalahnya Negara Hukum’, di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, (17/12/2016).
Alghifari mengatakan, kondisi itu membuat ruang demokrasi di Indonesia semakin sempit. Bahkan sebagai negara yang menyatakan diri berdaulat hukum hal itu tidak terlihat.
“Bahkan kalau kita melihat dari catatan di 2015 tidak ada kemajuan, malah cenderung mundur,” ujarnya.
Alghifari menyebut, dari kasus-kasus yang terlihat dalam catatan LBH Jakarta, angka pelanggaran hak asasi manusia (HAM) melonjak tinggi sepanjang tahun 2016.
“Sejak awal tahun, tindakan intoleransi masih mewarnai konflik di tengah masyarakat. Lalu Diskriminasi terhadap anggota eks Gafatar, pengusiran jemaat Ahmadiyah di Bangka Belitung dan menguatnya sentimen kelompok intoleran terhadap etnis Tionghoa tidak mendapat penanganan serius dari pemerintah,” paparnya.
Selain itu Alghifari mengatakan hilangnya hak-hak terhadap kelompok LGBT. Meskipun secara agama kelompok LGBT ditentang, tetapi mereka memerlukan perlindungan dari negara.
“Ada serangan kelompok LGBT begitu massive. Bapak ibu boleh tidak setuju, tetapi saya yakin ajaran agama manapun juga tidak ada ajaran untuk penyerangan,” imbuhnya.
Menurutnya semakin sempitnya ruang ekpresi dan berpendapat di Era Jokowi-JK, terlihat dengan mudahnya orang dikriminalisasi. Pemerintah menggunakan tuduhan makar terhadap mereka yang bersuara.
“Saya melihat ruang ekspresi dan berpendapat bagi masyarakat semakin mengecil. Pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, semakin diperparah dengan semakin mudahnya pemerintah menggunakan tuduhan makar,” papar Alghifari.
Alghifari menuturkan, beberapa waktu lalu LBH jakarta mengadvokasi sejumlah aktivis dan mahasiswa Papua yang ditangkap karena berunjuk rasa. Namun yang terjadi mereka malah ditangkap.
“Mengekspresikan kemerdekaan itu hak asasi, sepanjang tidak menggunakan senjata dan kekerasan. Lalu kami dicap membantu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Mereka mengkritik pemerintah tapi dengan mudahnya dituduh makar, tanpa ada bukti yang cukup,” kata Alghifari.
Selain itu Alghifari juga menyebut pemerintah telah melakukan pembangkangan terhadap hukum. Seperti dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta, penggusuran paksa di Jakarta yang melibatkan TNI dan kasus Petani Kendeng melawan pabrik semen di Rembang.
“Seperti kasus sengketa informasi terkait berkas penyelidikan TPF (Tim Pencari Fakta) Munir. Di kasus Munir menangkan gugatan di KIP tidak digubris. Kemudian kasus petani Rembang melawan perusahaan semen, tapi gubernurnya mengeluarkan izin baru,” ungkapnya.
Sumber: Detik.com