Sheherazade: Muda, Pintar, dan Gemar Berbagi Lewat Tambora Muda

Usianya masih muda, 23 tahun, tapi ia sudah jadi seorang konservasionis biodiversitas dan mondar-mandir ikut kegiatan pelestarian, pelatihan, dan penelitian di dalam maupun luar negeri. Buktinya saja, ia hingga kini menjadi anggota di Southeast Asian Bat Conservation Research Unit atau Unit Penelitian dan Konservasi Kelelawar Se-Asia Tenggara dan peneliti di Center for Biodiversity Strategies Universitas Indonesia.

Perkenalkan, nama perempuan muda ini adalah Sheherazade atau yang kerap kali dipanggil dengan sebutan Sera. Perempuan berdarah Sunda-Sulawesi yang kini sedang sibuk melanjutkan studi S2 program Ekologi dan Konservasi Satwa Liar di University of Florida, Amerika Serikat ini tidak hanya pintar dan peduli kelestarian biodiversitas, tapi juga suka berbagi. Hal itu dapat terlihat dari inisiatifnya mendirikan sebuah komunitas yang menghubungkan para konservasionis muda Indonesia, yakni Komunitas ‘Tambora’.

Didirikan pada 2015, komunitas ini dibentuk Sera bersama kawan-kawannya berdasarkan kegelisahannya akan informasi tentang konservasi/pelestarian dan kesempatan-kesempatan untuk menjadi seorang konservasionis, mulai dari informasi soal universitas atau beasiswa, serta informasi konferensi internasional yang terbatas dan kurang merata penyebarannya.

“Informasi soal konservasi dan kesempatan untuk konservasionis ikut konferensi itu banyak sebenarnya. Tapi informasi itu nggak merata dan terpusat di Jabodetabek saja. Sayang banget kan, padahal sudah mulai banyak yang tertarik dengan dunia konservasi biodiversitas di sini (Indonesia), tapi karena terbatas informasinya, mereka kehilangan kesempatan,” ujar Sera lewat telepon di malam sebelum keberangkatannya kembali ke Amerika Serikat.

Komunitas ini juga punya tujuan lain. Kata Sera, selain menjadi pusat informasi dan penyebarannya, komunitas ini juga jadi wadah untuk para anak muda yang menaruh minat pada dunia konservasi untuk mengasah kemampuannya menulis penelitian untuk dikirimkan ke berbagai konferensi nasional dan internasional untuk membuat dampak buat orang banyak.

Tambahnya, “di komunitas ini anak muda bisa kita bantu untuk menulis abstrak untuk submit ke konferensi internasional. Dan kita juga bisa bantu untuk membuat aplikasi atau pendaftaran ke universitas di luar negeri.”

Meski baru berjalan selama setahun, komunitas ini sudah berhasil menggaet ribuan pengikut yang menaruh minat pada ekologi dan juga bidang lain seperti komunikasi dan sosial di media sosial serta melibatkan belasan pengurus inti berusia muda yang juga datang dari latar belakang konservasionis.

Akan tetapi Sera menjelaskan, ditahun awal ini masih banyak sekali PR yang mesti diurus bersama kawan-kawannya. PR itu ialah sistem komunitas, rencana per tahun, hingga rencana jangka panjang. Masalah branding juga jadi PR tambahan, pasalnya belakangan ini makin banyak komunitas yang bermunculan, sehingga dibutuhkan usaha ekstra untuk memperkenalkan komunitas ini. Belum lagi tantangan yang datang dari kesibukan masing-masing. Sera contohnya, ia mesti fokus melanjutkan studi S2 nya di Amerika Serikat.

Ujar Sera, “Memang semua ada kesibukan masing-masing, tapi kita saling cover sih. Serunya disini memang, kita kerja tim dan saling mendukung.”

Ya, kerja tim dan saling mendukung. Ini juga yang jadi kebahagiaan tersendiri sebenarnya untuk Sera dalam mendirikan sebuah komunitas. Selain jaringan pertemanannya yang makin luas, ia mengaku jadi punya banyak tempat untuk berbagi cerita ketika stres melanda. Ia juga senang bisa berbagi informasi yang banyak ia dapatkan ke banyak orang yang membutuhkan.

Ia berharap kedepannya komunitas ini bisa bertumbuh menjadi sebuah organisasi non-profit dan memberikan dana penelitian kepada anak muda yang punya minat dalam dunia konservasi biodiversitas, serta aktif memberikan pelatihan. Sera mengatakan, memang sekarang belum terlalu banyak anak muda yang tertarik dengan dunia penelitian dan konservasi, akan tetapi bibit-bibit pecinta dan pelestari biodiversitas muda sudah mulai terlihat, misalnya anak-anak muda yang aktif di kegiatan biodiversitas hidup.

“Anak-anak yang minat ke alam dan biodiversitas hidup itu banyak sekarang. Lihat saja, banyak kan yang gabung komunitas, ikut kegiatan pelestarian. Tapi mereka belum berani untuk menyelam lebih jauh lagi, jadi peneliti misalnya. Kurasa ini karena masih banyak yang belum punya pemahaman soal profesi konservasionis. Mereka takut soal prospek kedepannya gimana, pemikiran sulit, sampai pendapatan yang kecil,” jelas Sera menyayangkan.

Ia juga mengatakan sebenarnya sekarang ini Indonesia sangat membutuhkan konservasionis muda untuk menanggulangi permasalahan yang melanda. Namun, tak mesti jadi konservasionis biodiversitas, masalah sosial dan komunikasi juga bisa.

“Konservasi itu nggak cuma soal tumbuhan dan hewan saja, tetapi juga tentang manusia dan penggunaan sumber daya yang seharusnya berkelanjutan,”ujarnya.

Ketika ditanya ketertarikannya soal dunia konservasi, Sera menjawab ia sudah punya ketertarikan sejak usianya masih sangat belia. Karena tinggal dekat hutan, ia sering terkagum melihat kekayaan alam dibaliknya. Tak hanya terkagum, ia juga sering miris ketika melihat kerusakan-kerusakan yang ada dibalik kekayaan hutan itu. Hal tersebutlah yang kemudian makin menumbuhkan tekadnya untuk membenahi kerusakan tersebut dengan mengambil langkah pertama, yakni studi strata satu di bidang biologi di Universitas Indonesia dan kemudian melanjutkan studi S2 nya di Amerika serikat, setelah dua tahun bekerja jadi seorang konservasionis di Aliansi Konservasi Tompotika di Sulawesi Tengah, Indonesia.

Dokumentasi: Sheherazade 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *